Puisi-puisi Tjahjono Widijanto
1.
engkau sediakan sebuah mahkota
seribu langit dengan rahasia di pusar-pusarnya
di bawahnya rahim berharap membuahkan pewaris
pemajang potret di sudut kamar
“bapa, kutagih tiket perjalanan
yang dulu terselip di lusuh jaketmu!”
tuhan menggambar lurus di atas langit yang bengkok
sebuah mahkota bersanding sepotong tali gantungan
ksatriya bersama malaikat
iblis-iblis dan pengkhianat
menyorakinya bersama-sama
sesuatu mesti ditangkap
senja, bisik angin atau pucat malam
kabut menudunginya
dalam tatapan mata kucing liar
2.
ada yang hilang di sini
bermula dari sajak tak menjadi
fantasi berkelebat menjadi bayang-bayang sempurna
tekstur buram masa lalu
riwayat para moyang
hantu-hantu bergentayangan
meneriakkan himne-himne kibaran panji-panji
-“kuwarisi kau hikayat para satriya
kekuasaan akan menjadikanmu dewa
dengan wajah gandarwa!”
3.
kembali tuhan menulis di celah langit
kali ini dalam goresan cahaya samar-samar
gerimis perlahan turun dalam malam tak bertuan
kegaiban mengajak berlari ke dunia yang lain
sunyi tak berhasil membentuk kata
sajak menjadi sarat bunyi pedih
menetes ceruk kedalaman diri yang tua
bersama waktu yang tiba-tiba kembali muda
mimpi-mimpi berjatuhan dengan denting yang rapi
menjelma sungai-sungai terus menangis
wajah-wajah jadi telanjang
tak mungkin berpaling dari bumi
langit gagal melahirkan doa suci
musim begitu rakus menghirup mimpi
Ngawi, 2003-2005
*) wahyu berupa kekuasaan juga bencana.
TAFSIR LANGIT
Tak ada yang harus kekal jadi rahasia
lobang-lobang nganga menyimpan wajah sendiri pias oleh kuyup malam guyuran sisa dongeng dan himne yang dibacakan selepas senja.
Tak ada yang harus kekal jadi rahasia!
Pembawa warta itu mengisaratkan suatu masa di mana langit, guruh, pasir, kerikil, lelumut dapat bicara padamu dan kita bakalan menghikmatnya dalam diam yang gemuruh
Kesunyian menjadi rangkaian mantram upacara
tak henti-hentinya dilafalkan sepanjang musim bersama hilir mudik cuaca.
Milik siapa hening ini saat waktu merambati tiap jakun dengan tik-taknya yang setia?—Dan Bisma pendekar tua itu meraung dan memilih jam ajalnya sendiri---
Tak ada yang harus kekal jadi rahasia!
Semua adalah milik kitab terbuka yang abjadnya tahun demi tahun menimbun dan akan jadi hafalanmu sepanjang usia. Bocah-bocah di trotoar jalan itu suatu masa akan menuding cakrawala
----Lihat bapak menggambar langit untuk kita!”
Ngawi, 2004
0 komentar:
Posting Komentar