RSS

24 Februari 2008

Puisi-puisi Tjahjono Widijanto

PULUNG*)


1.

engkau sediakan sebuah mahkota

seribu langit dengan rahasia di pusar-pusarnya

di bawahnya rahim berharap membuahkan pewaris

pemajang potret di sudut kamar

“bapa, kutagih tiket perjalanan

yang dulu terselip di lusuh jaketmu!”

tuhan menggambar lurus di atas langit yang bengkok

sebuah mahkota bersanding sepotong tali gantungan

ksatriya bersama malaikat

iblis-iblis dan pengkhianat

menyorakinya bersama-sama

sesuatu mesti ditangkap

senja, bisik angin atau pucat malam

kabut menudunginya

dalam tatapan mata kucing liar

2.

ada yang hilang di sini

bermula dari sajak tak menjadi

fantasi berkelebat menjadi bayang-bayang sempurna

tekstur buram masa lalu

riwayat para moyang

hantu-hantu bergentayangan

meneriakkan himne-himne kibaran panji-panji

-“kuwarisi kau hikayat para satriya

kekuasaan akan menjadikanmu dewa

dengan wajah gandarwa!”

3.

kembali tuhan menulis di celah langit

kali ini dalam goresan cahaya samar-samar

gerimis perlahan turun dalam malam tak bertuan

kegaiban mengajak berlari ke dunia yang lain

sunyi tak berhasil membentuk kata

sajak menjadi sarat bunyi pedih

menetes ceruk kedalaman diri yang tua

bersama waktu yang tiba-tiba kembali muda

mimpi-mimpi berjatuhan dengan denting yang rapi

menjelma sungai-sungai terus menangis

wajah-wajah jadi telanjang

tak mungkin berpaling dari bumi

langit gagal melahirkan doa suci

musim begitu rakus menghirup mimpi

Ngawi, 2003-2005

*) wahyu berupa kekuasaan juga bencana.


TAFSIR LANGIT

Hujan tak selesai-selesai hari ini. Selimut menunggu hangat darah menggigil bersama selubung malam yang setia dengan pekatnya. Terngaung bisik-bisik itu:baca! Dan kau mengejanya sepenggal-penggal.

Tak ada yang harus kekal jadi rahasia

lobang-lobang nganga menyimpan wajah sendiri pias oleh kuyup malam guyuran sisa dongeng dan himne yang dibacakan selepas senja.

Tak ada yang harus kekal jadi rahasia!

Pembawa warta itu mengisaratkan suatu masa di mana langit, guruh, pasir, kerikil, lelumut dapat bicara padamu dan kita bakalan menghikmatnya dalam diam yang gemuruh

Kesunyian menjadi rangkaian mantram upacara

tak henti-hentinya dilafalkan sepanjang musim bersama hilir mudik cuaca.

Milik siapa hening ini saat waktu merambati tiap jakun dengan tik-taknya yang setia?—Dan Bisma pendekar tua itu meraung dan memilih jam ajalnya sendiri---

Tak ada yang harus kekal jadi rahasia!

Semua adalah milik kitab terbuka yang abjadnya tahun demi tahun menimbun dan akan jadi hafalanmu sepanjang usia. Bocah-bocah di trotoar jalan itu suatu masa akan menuding cakrawala

----Lihat bapak menggambar langit untuk kita!”

Ngawi, 2004

0 komentar: