RSS

24 Februari 2008

PEREMPUAN-PEREMPUAN DALAM NOVEL INDONESIA
DARI “SITI NURBAYA” HINGGA “SAMAN”

Teks sastra pada dasarnya bukan hanya sekedar berfungsi sebagai pelipur lara saja, tetapi juga hadir sebagai kisah sekaligus berita pikiran. Teks sastra merefleksikan berbagai faktor sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, serta berbagai struktur sosial dan sistem budaya yang ada di masyarakat.

Sebagai salah satu genre sastra, novel-novel Indonesia juga hadir sebagai sistem lambang budaya yang secara implisit menampilkan sosok atau citra manusia Indonesia, yang penyosokkannya tersebut telah mengalami sofistifikasi (pencanggihan) hayatan, renungan, gagasan dan pandangan pribadi pengarangnya. Pengarang memberikan pembaca sebuah dunia simbol yang diramu dalam teks yang mempunyai kemandirian untuk mengadakan dialog langsung dengan pembacanya.

Karena telah mengalami sofistifikasi (yang muncul dalam dunia simbol), sosok manusia yang dihadirkan dalam sebuah novel tidak sama persis dengan realita sui generis manusia Indonesia dalam kehidupan, yang menurut A Teeuw (1995) dikatakan sebagai realitas hilir, bukan realitas hulu.

Sosok perempuan

Dalam novel-novel Indonesia, sosok perempuan selalu dimunculkan dengan citra dan problematikanya masing-masing, sesuai dengan zaman dan kondisi saat novel-novel tersebut dimunculkan. Sekedar menyebut nama tokoh Siti Nurbaya dalam Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, tokoh Maria dan Tuti dalam Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Sukartini dan Rochayali dalam Novel Belenggu karya Armyn Pane, Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia milik Pramoedya, Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari, Larasati dalam Burung-burung Manyar dan Netty dalam Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya, serta yang terbaru, tokoh-tokoh Sakuntala, Yasmin, Cok, dan Laila dalam novel Saman karya Ayu utami.

Kalau ditelaah lebih lanjut meskipun novel-novel tersebut secara kronologis merupakan teks sastra yang lahir dalam periode-periode yang berbeda sebenarnya penyosokan perempuan dalam novel-novel tersebut terikat dengan masalah-masalah mendasar yang relatif sama, yakni: (1) perbenturan modern dan tradisional, (2) masalah ‘Barat’ dan ‘Timur’, (3) ketegangan antara feminitas dengan maskulinitas, dan (4) ketegangan dan ketergantungan dalam upaya memperoleh otonomi.

Selain keempat persoalan tersebut, novel-novel Indonesia juga menampilkan kedudukan dan golongan sosial perempuan Indonesia yang terbagi atas golongan bawah, golongan menengah, dan golongan atas. Wanita golongan bawah disosokkan sebagai perempuan-perempuan miskin, kurang berpendidikan, bekerja di sektor kasar atau dianggap rendah, dan secara genealogis bukan dari kalangan priyayi / bangsawan. Sebagai misal adalah tokoh Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk), tokoh Sumirat dan Kedasih (Tirai Menurun).

Sedangkan perempuan golongan menengah selain berasal dari kalangan bangsawan, juga perempuan yang mengenyam pendidikan dan secara ekonomis tidak kekurangan (mapan), meskipun juga tidak berlebihan. Dapatlah disebut sebagai contoh : tokoh Siti Nurbaya, tokoh Sukartini dalam Belenggu, dan Tuti dalam Layar Terkembang.

Adapun perempuan dari golongan atas banyak digambarkan dalam novel-novel dekade 1980-an hingga 1990-an. Tokoh-tokoh perempuan ini disosokkan sebagai tokoh yang kaya raya, punya kedudukan terhormat, serta mempunyai ambisi dan semangat intelektual. Contoh dari perempuan golongan ini adalah tokoh Iien dalam Durga Umayi, Larasati dan Netty dalam Burung-burung Manyar dan Burung-burung Rantau, tokoh-tokoh Sakuntala, Yasmin, Laila, dan Cok dalam Saman.

Dalam novel-novel yang mengisahkan perempuan golongan bawah, selalu tercermin sosok perempuan yang selalu kalah atau “rela” untuk kalah. Tidak tergambarkan sebuah perlawanan yang didasari dengan pandangan atau konsep intelektual dan semata-mata terfokus pada masalah perut / ekonomis. Sedangkan novel-novel yang mengisahkan perempuan golongan menengah dan atas lebih transparan merekam secara utuh masalah-masalah berkembangnya nilai-nilai baru, konsep-konsep baru, akibat pengaruh kapitalisme yang melahirkan formasi sosial yang baru yang cenderung rasional dan individu serta dampaknya bagi kaum perempuan.

Perempuan dan Seks

Sejak awal kemunculannya, sosok perempuan dalam novel Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan seksualitas, baik secara samar atau transparan. Dalam novel-novel Balai Pustaka, persoalan seks yang bersangkut paut dengan tokoh perempuan ditampilkan secara halus dan terkesan ditutup-tutupi. Persoalan yang muncul didominasi dengan ketegangan hubungan dominasi-subordinasi dengan berdasar pada ideologi yang dominan dalam mendefinisikan wanita, yang memposisikan perempuan sebagai obyek yang tidak otonom baik dalam lingkup sosial maupun dalam perilaku seksual.

Pada perkembangan selanjutnya, novel-novel Indonesia yang kebetulan lahir sebagai produk zaman kapitalis turut menggambarkan dan mengisahkan bagaimana pembangunanisme dan kapitalisme menimbulkan kelonggaran moralitas sosial dan bagaimana orang menjadi semakin individualistis. Semua itu pada gilirannya memberikan kebebasan kepada perempuan Indonesia kepada perempuan bebas untuk (freedom of) berbuat segala sesuatu yang melanggar moralitas sosial, etika, dan norma agama yang kemudian berakibat melonggarnya moralitas sosial.

Ambil contoh novel Saman yang lahir paling kemudian (1998), yang mengungkapkan fenomena terjadinya “revolusi seksual” di kota-kota besar. Terjadinya sebuah pergeseran nilai-nilai dimana perempuan merasa menemukan simbol-simbol kemandirian melalui kebebasan seks. Mereka itu justru perempuan-perempuan golongan atas. Novel ini dengan gamblang memberikan potret buram generasi produk Orde Baru yang merupakan korban kebudayaan modernisme, pembangunanisme, dan kapilatisme yang serba permisif.

Digambarkan, bagaimana perempuan generasi baru seperti tokoh Cok dengan entengnya membawa-bawa kondom dalam tas sekolahnya dan asyik berganti-ganti pasangan. Kemudian ada tokoh Sakuntala yang dengan kesadaran penuh mendekap kebudayaan Barat yang serba permisif, yang disimbolkan sebagai makhluk dan kebudayaan raksasa, yang bahkan dengan penuh kesadaran merusak perawannya dengan ujung-ujung jarinya sendiri sebagai tanda pemberontakan terhadap tatanan etika dan moralitas sosial yang dianggap membelenggunya.

Sosok-sosok perempuan yang ditampilkan dalam Saman pada dasarnya menggambarkan betapa kaum perempuan menjadi korban carut-marutnya kebudayaan Orde Baru yang larut dalam kapitalisme dan materialisme. Perempuan-perempuan dalam novel tersebu adalah perempuan yang pada satu sisi mempunyai ruang publik yang lebih besar dibandingkan ruang domestiknya, tetapi disisi lain perempuan-perempuan itu tetap merupakan tumbal kebudayaan yang mengalami depresi dalam menerjemahkan makna pemberontakan, kebebasan, dan kemandirian.

Mereka tetaplah Siti Nurbaya-Siti Nurbaya modern, yang menghadapi Datuk Maringgih baru yang lebih kejam dan lebih canggih, yaitu kapitalisme serba permisif dengan bentuk lebih gemerlap, lebih cerdas, lebih bebas, dan lebih culas.

Tjahjono Widijanto Kompas, Minggu 16 Mei 1999


0 komentar: