RSS

24 Februari 2008

PEREMPUAN-PEREMPUAN DALAM NOVEL INDONESIA
DARI “SITI NURBAYA” HINGGA “SAMAN”

Teks sastra pada dasarnya bukan hanya sekedar berfungsi sebagai pelipur lara saja, tetapi juga hadir sebagai kisah sekaligus berita pikiran. Teks sastra merefleksikan berbagai faktor sosial, hubungan kekeluargaan, pertentangan kelas, serta berbagai struktur sosial dan sistem budaya yang ada di masyarakat.

Sebagai salah satu genre sastra, novel-novel Indonesia juga hadir sebagai sistem lambang budaya yang secara implisit menampilkan sosok atau citra manusia Indonesia, yang penyosokkannya tersebut telah mengalami sofistifikasi (pencanggihan) hayatan, renungan, gagasan dan pandangan pribadi pengarangnya. Pengarang memberikan pembaca sebuah dunia simbol yang diramu dalam teks yang mempunyai kemandirian untuk mengadakan dialog langsung dengan pembacanya.

Karena telah mengalami sofistifikasi (yang muncul dalam dunia simbol), sosok manusia yang dihadirkan dalam sebuah novel tidak sama persis dengan realita sui generis manusia Indonesia dalam kehidupan, yang menurut A Teeuw (1995) dikatakan sebagai realitas hilir, bukan realitas hulu.

Sosok perempuan

Dalam novel-novel Indonesia, sosok perempuan selalu dimunculkan dengan citra dan problematikanya masing-masing, sesuai dengan zaman dan kondisi saat novel-novel tersebut dimunculkan. Sekedar menyebut nama tokoh Siti Nurbaya dalam Novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli, tokoh Maria dan Tuti dalam Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana, Sukartini dan Rochayali dalam Novel Belenggu karya Armyn Pane, Nyai Ontosoroh dalam Novel Bumi Manusia milik Pramoedya, Srintil dalam Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari, Larasati dalam Burung-burung Manyar dan Netty dalam Burung-burung Rantau karya YB Mangunwijaya, serta yang terbaru, tokoh-tokoh Sakuntala, Yasmin, Cok, dan Laila dalam novel Saman karya Ayu utami.

Kalau ditelaah lebih lanjut meskipun novel-novel tersebut secara kronologis merupakan teks sastra yang lahir dalam periode-periode yang berbeda sebenarnya penyosokan perempuan dalam novel-novel tersebut terikat dengan masalah-masalah mendasar yang relatif sama, yakni: (1) perbenturan modern dan tradisional, (2) masalah ‘Barat’ dan ‘Timur’, (3) ketegangan antara feminitas dengan maskulinitas, dan (4) ketegangan dan ketergantungan dalam upaya memperoleh otonomi.

Selain keempat persoalan tersebut, novel-novel Indonesia juga menampilkan kedudukan dan golongan sosial perempuan Indonesia yang terbagi atas golongan bawah, golongan menengah, dan golongan atas. Wanita golongan bawah disosokkan sebagai perempuan-perempuan miskin, kurang berpendidikan, bekerja di sektor kasar atau dianggap rendah, dan secara genealogis bukan dari kalangan priyayi / bangsawan. Sebagai misal adalah tokoh Srintil (Ronggeng Dukuh Paruk), tokoh Sumirat dan Kedasih (Tirai Menurun).

Sedangkan perempuan golongan menengah selain berasal dari kalangan bangsawan, juga perempuan yang mengenyam pendidikan dan secara ekonomis tidak kekurangan (mapan), meskipun juga tidak berlebihan. Dapatlah disebut sebagai contoh : tokoh Siti Nurbaya, tokoh Sukartini dalam Belenggu, dan Tuti dalam Layar Terkembang.

Adapun perempuan dari golongan atas banyak digambarkan dalam novel-novel dekade 1980-an hingga 1990-an. Tokoh-tokoh perempuan ini disosokkan sebagai tokoh yang kaya raya, punya kedudukan terhormat, serta mempunyai ambisi dan semangat intelektual. Contoh dari perempuan golongan ini adalah tokoh Iien dalam Durga Umayi, Larasati dan Netty dalam Burung-burung Manyar dan Burung-burung Rantau, tokoh-tokoh Sakuntala, Yasmin, Laila, dan Cok dalam Saman.

Dalam novel-novel yang mengisahkan perempuan golongan bawah, selalu tercermin sosok perempuan yang selalu kalah atau “rela” untuk kalah. Tidak tergambarkan sebuah perlawanan yang didasari dengan pandangan atau konsep intelektual dan semata-mata terfokus pada masalah perut / ekonomis. Sedangkan novel-novel yang mengisahkan perempuan golongan menengah dan atas lebih transparan merekam secara utuh masalah-masalah berkembangnya nilai-nilai baru, konsep-konsep baru, akibat pengaruh kapitalisme yang melahirkan formasi sosial yang baru yang cenderung rasional dan individu serta dampaknya bagi kaum perempuan.

Perempuan dan Seks

Sejak awal kemunculannya, sosok perempuan dalam novel Indonesia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan seksualitas, baik secara samar atau transparan. Dalam novel-novel Balai Pustaka, persoalan seks yang bersangkut paut dengan tokoh perempuan ditampilkan secara halus dan terkesan ditutup-tutupi. Persoalan yang muncul didominasi dengan ketegangan hubungan dominasi-subordinasi dengan berdasar pada ideologi yang dominan dalam mendefinisikan wanita, yang memposisikan perempuan sebagai obyek yang tidak otonom baik dalam lingkup sosial maupun dalam perilaku seksual.

Pada perkembangan selanjutnya, novel-novel Indonesia yang kebetulan lahir sebagai produk zaman kapitalis turut menggambarkan dan mengisahkan bagaimana pembangunanisme dan kapitalisme menimbulkan kelonggaran moralitas sosial dan bagaimana orang menjadi semakin individualistis. Semua itu pada gilirannya memberikan kebebasan kepada perempuan Indonesia kepada perempuan bebas untuk (freedom of) berbuat segala sesuatu yang melanggar moralitas sosial, etika, dan norma agama yang kemudian berakibat melonggarnya moralitas sosial.

Ambil contoh novel Saman yang lahir paling kemudian (1998), yang mengungkapkan fenomena terjadinya “revolusi seksual” di kota-kota besar. Terjadinya sebuah pergeseran nilai-nilai dimana perempuan merasa menemukan simbol-simbol kemandirian melalui kebebasan seks. Mereka itu justru perempuan-perempuan golongan atas. Novel ini dengan gamblang memberikan potret buram generasi produk Orde Baru yang merupakan korban kebudayaan modernisme, pembangunanisme, dan kapilatisme yang serba permisif.

Digambarkan, bagaimana perempuan generasi baru seperti tokoh Cok dengan entengnya membawa-bawa kondom dalam tas sekolahnya dan asyik berganti-ganti pasangan. Kemudian ada tokoh Sakuntala yang dengan kesadaran penuh mendekap kebudayaan Barat yang serba permisif, yang disimbolkan sebagai makhluk dan kebudayaan raksasa, yang bahkan dengan penuh kesadaran merusak perawannya dengan ujung-ujung jarinya sendiri sebagai tanda pemberontakan terhadap tatanan etika dan moralitas sosial yang dianggap membelenggunya.

Sosok-sosok perempuan yang ditampilkan dalam Saman pada dasarnya menggambarkan betapa kaum perempuan menjadi korban carut-marutnya kebudayaan Orde Baru yang larut dalam kapitalisme dan materialisme. Perempuan-perempuan dalam novel tersebu adalah perempuan yang pada satu sisi mempunyai ruang publik yang lebih besar dibandingkan ruang domestiknya, tetapi disisi lain perempuan-perempuan itu tetap merupakan tumbal kebudayaan yang mengalami depresi dalam menerjemahkan makna pemberontakan, kebebasan, dan kemandirian.

Mereka tetaplah Siti Nurbaya-Siti Nurbaya modern, yang menghadapi Datuk Maringgih baru yang lebih kejam dan lebih canggih, yaitu kapitalisme serba permisif dengan bentuk lebih gemerlap, lebih cerdas, lebih bebas, dan lebih culas.

Tjahjono Widijanto Kompas, Minggu 16 Mei 1999


Puisi-puisi Tjahjono Widijanto

PULUNG*)


1.

engkau sediakan sebuah mahkota

seribu langit dengan rahasia di pusar-pusarnya

di bawahnya rahim berharap membuahkan pewaris

pemajang potret di sudut kamar

“bapa, kutagih tiket perjalanan

yang dulu terselip di lusuh jaketmu!”

tuhan menggambar lurus di atas langit yang bengkok

sebuah mahkota bersanding sepotong tali gantungan

ksatriya bersama malaikat

iblis-iblis dan pengkhianat

menyorakinya bersama-sama

sesuatu mesti ditangkap

senja, bisik angin atau pucat malam

kabut menudunginya

dalam tatapan mata kucing liar

2.

ada yang hilang di sini

bermula dari sajak tak menjadi

fantasi berkelebat menjadi bayang-bayang sempurna

tekstur buram masa lalu

riwayat para moyang

hantu-hantu bergentayangan

meneriakkan himne-himne kibaran panji-panji

-“kuwarisi kau hikayat para satriya

kekuasaan akan menjadikanmu dewa

dengan wajah gandarwa!”

3.

kembali tuhan menulis di celah langit

kali ini dalam goresan cahaya samar-samar

gerimis perlahan turun dalam malam tak bertuan

kegaiban mengajak berlari ke dunia yang lain

sunyi tak berhasil membentuk kata

sajak menjadi sarat bunyi pedih

menetes ceruk kedalaman diri yang tua

bersama waktu yang tiba-tiba kembali muda

mimpi-mimpi berjatuhan dengan denting yang rapi

menjelma sungai-sungai terus menangis

wajah-wajah jadi telanjang

tak mungkin berpaling dari bumi

langit gagal melahirkan doa suci

musim begitu rakus menghirup mimpi

Ngawi, 2003-2005

*) wahyu berupa kekuasaan juga bencana.


TAFSIR LANGIT

Hujan tak selesai-selesai hari ini. Selimut menunggu hangat darah menggigil bersama selubung malam yang setia dengan pekatnya. Terngaung bisik-bisik itu:baca! Dan kau mengejanya sepenggal-penggal.

Tak ada yang harus kekal jadi rahasia

lobang-lobang nganga menyimpan wajah sendiri pias oleh kuyup malam guyuran sisa dongeng dan himne yang dibacakan selepas senja.

Tak ada yang harus kekal jadi rahasia!

Pembawa warta itu mengisaratkan suatu masa di mana langit, guruh, pasir, kerikil, lelumut dapat bicara padamu dan kita bakalan menghikmatnya dalam diam yang gemuruh

Kesunyian menjadi rangkaian mantram upacara

tak henti-hentinya dilafalkan sepanjang musim bersama hilir mudik cuaca.

Milik siapa hening ini saat waktu merambati tiap jakun dengan tik-taknya yang setia?—Dan Bisma pendekar tua itu meraung dan memilih jam ajalnya sendiri---

Tak ada yang harus kekal jadi rahasia!

Semua adalah milik kitab terbuka yang abjadnya tahun demi tahun menimbun dan akan jadi hafalanmu sepanjang usia. Bocah-bocah di trotoar jalan itu suatu masa akan menuding cakrawala

----Lihat bapak menggambar langit untuk kita!”

Ngawi, 2004

Cerpen:

C O R O

Oleh: Tjahjono Widijanto

Sudah tiga minggu aku ditempatkan atau tepatnya dipindahkan bekerja di bagian ini. Bagian yang banyak orang mengatakan sebagai bagian yang lumayan basah di kota kecil ini, lebih-lebih aku dipromosikan sebagai Kasubdin, jabatan yang sebenarnya tak pernah kubayangkan sebelumnya. Keluargaku, terutama Ibu dan isteriku saking gembiranya sampai mengadakan pesta kecil-kecilan atas kedudukan baruku itu.

Semua urusan berjalan lancar, baru pada minggu keempat aku mulai menemukan sesuatu yang membuatku tak habis pikir. Dimulai ketika suatu pagi aku datang lebih awal (aku ingin memberi contoh kepada staf-stafku) ke kantor. Ketika aku memasuki ruang kerjaku yang tidak terlampau luas tapi cukup bersih dan tertata rapi, nampak seekor coro berkeliaran di meja kerjaku. Dengan asyiknya binatang menjijikkan itu berlenggak-lenggok di atas tumpukan map dan buku-buku. Ketika aku datang dan membuka pintu, binatang itu berhenti dan menatapku sambil menggetarkan sungut-sungutnya. Ia sama sekali tak gentar ketika aku mendekatinya. Kuraihraih koran di sudut meja, menggulungnya lalu kupukulkan , “Mampus, kau!”

Tak kuduga binatang yang tampaknya lemah itu dapat berkelit dengan gesit. Ia tahu-tahu sudah berpindah di atas kursi. Aku memburu dan memukulnya sekali lagi. Tapi bak seorang pesenam, coro itu melenting dan hinggap di rak buku. Aku mencecar dengan pukulan berikutnya, dan …prangg! Kaca tempat melindungi buku-buku yang berjejer di dalamnya pecah berantakan. Serangga konyol itu sudah berpindah di lantai dengan tetap menggetarkan sungutnya yang panjang seolah-olah menertawakan kemarahanku.

Ada apa Pak?” tanya Parman pegawai kebersihan yang tiba-tiba muncul di balik pintu rupanya ia mendengar suara kaca pecah tadi.

“Itu Man, coba lihat!” kataku. Parman tersenyum melihat coro itu yang segera menghilang di antara lekukan antara meja dan rak buku. Parman segera membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai.

Aku segera melupakan insiden kecil itu. Tapi esok harinya aku merasa ditantang. Betapa tidak, ketika datang tidak saja satu coro tapi aku melihat lima coro sekaligus. Mereka berkumpul di atas meja kerjaku, dua di atas map, dua di atas buku dan satu diatas sandaran kursiku. Seperti kemarin serangga menjijikan itu menggetarkan sungut-sungutnya seakan-akan memberi tabik padaku.

Aku langsang meradang. Tas yang kujinjing langsung meluncur dan menghantam meja dengan kerasnya. Tembakanku melesat. Coro-coro itu malahan berkumpul di sandaran kursiku dengan santainya. Aku diam mengintai. Mereka tenang-tenang saja tak menghiraukanku. Aku jadi lupa dengan rasa jijikku, melompat sambil menghantamkan telapak tanganku. Kursi mencelat tapi tak ada satupun yang jadi korban. Keluarga coro itu menghilang di balik rak buku. Aku langsung berteriak mengomando Parman untuk mengulang membersihkan kembali ruang kerjaku.

Kejengkelanku makin hari makin memuncak. Coro-coro­ itu seperti sengaja menerorku. Mereka muncul tidak saja saat ruanganku sepi di pagi hari. Tapi juga siang hari saat aku sibuk bekerja mereka muncul hilir mudik di mejaku. Bahkan yang memalukan saat aku sedang menerima tamu mereka berkeliaran bahkan dengan beraninya memanjat sepatuku dan merayap di punggungku. Berkali-kali pula barang-barang di mejaku jadi korban salah sasaran, bahkan pernah gelas dan asbak kaca pecah berantakan dan tanganku berdarah, tapi coro-coro­ itu sepertinya selalu punya kesaktian untuk menghindar. Berkali-kali pula kusuruh Parman melakukan razia besar-besaran di ruang kerjaku, tapi selalu hasilnya nol besar.

Aku benar-benar sampai pada puncak kemarahan. Aku merasa dilecehkan habis-habisan ketika suatu siang di meja dan di laci mejaku penuh dengan telur-telur coro. Telur-telur coro itu disimpan induknya pada tempat serupa kapsul persis seperti selonsong peluru. Biasanya telur-telur dalam kapsul itu dibawa induknya ke mana-mana baru diletakkan setelah hampir menetas. Benar juga, sesaat kemudian aku melihat kapsul-kapsul itu pecah, telur-telur itu menguak dan aku melihat berpuluh-puluh coro kecil berhamburan lari menyebar ke seluruh sudut ruang-ruangku. Dan akibatnya lagi-lagi Parman yang jadi sasaran kemarahanku.

“Kamu itu benar-benar nggak becus Man! Masak kamu nggak bisa mengurusi coro-coro itu. Kamu kan bisa beli obat serangga. Semprot itu seluruh celah-celah dinding, rak, dan laci-laci!” teriakku ketika kejengkelanku tambah memuncak.

“Maaf Pak, kemarin sudah saya semprot kok,” kata Parman sambil menundukan kepala,. “Tapi serangga-serangga itu sepertinya kebal. Malah saya sudah habis dua botol obat serangga.”

“Kamu kan bisa cara lain. Kalau perlu ajak petugas kebersihan lain untuk bersih-bersih total. Bersihkan semua ruangan yang ada di gedung ini. Kalau perlu hubungi petugas kesehatan biar mereka menyemprot gedung ini dengan DDT!” teriakku tambah keras.

Parma hanya diam menunduk. Tetap sejurus kemudian dia mengangkat mukanya. Wajahnya jadi ragu-ragu. “Maaf Pak, eeh, anu Pak, tidak saja di ruangan Bapak yang banyak coronya. Semua ruangan dalam gedung ini dipenuhi coro-coro yang hidup bebas”.

” Seluruh ruangan, gedung sebesar dan sebersih ini? Ah, kamu jangan ngaco!”

“Sumpah Pak, saya tidak bohong. Malah di ruang Kepala Dinas paling banyak dan subur. Bahkan di ruang Mbak Desy sebelah itu juga banyak dan gemuk-gemuk,” katanya meyakinkan.

Aku menjadi terbengong-bengong, terlebih lagi ketika Parman menyebut-nyebut Kepala Dinas juga Desy, pegawai termuda dan paling cantik di kantor ini. Aku penasaran. Mulai hari itu aku menjadi seperti detektif mengamati setiap ruang dengan diam-diam terutama ruang Desy yang terletak di sebelah kanan ruang kerjaku.

Sampai pada suatu siang aku dapat melihat bahwa Parman tidak omong kosong. Ruang Desy yang bersih rapi dengan tatanan warna yang romantis itu kerap kali melintas beberapa coro yang gemuk-gemuk. Bahkan aku nyaris terpekik ketika suatu siang pada saat jam istirahat aku melihat Desy bercengkerama dengan seekor coro ukuran besar. Tangannya dengan lembut memegang coro itu dan didekatkannya pada mukanya yang putih dan cantik. Sambil tersenyum-senyum, sungut binatang menjijikkan itu disentuh-sentuhkannya pada pipi, hidung, dan bibirnya. Dan masyaallah! Aku menjadi mual seketika, ketika Desy membuka kancing baju atasnya, lalu mengusap-ngusapkan sungut, dan seluruh tubuh serangga itu ke balik bhnya dan matanya setengah terpejam menikmati sentuhan dan usapan sungut binatang keparat itu. Aku tak tahan menahan mualku dan bergegas lari ke belakang sampai-sampai menabrak kursi di belakangku. Desy terkejut, tapi melihat aku berlari ia cuma tersenyum dan kembali menikmati permainannya itu.

Sehari setelah kejadian itu aku dipanggil menghadap Kepala Dinas di ruangannya. Benakku langsung dipenuhi dengan berbagai pertanyyaan, dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasa. “Jangan-jangan ini gara-gara coro si Desi itu, ”, pikirku.

“Mari masuk Dik, duduk di sini, santai saja”, sambut Kepala Dinas dengan ramah sambil tersenyum lebar menatapku. Dengan ragu-ragu aku menggeser kursi di depannya. Ruangan ini begitu rapi dengan dominasi warna biru lembut. Tumpukan map di meja, tiga pesawa telepon, dan rak di samping dan di belakang tempat duduknya penuh dengan buku-buku tebal. Rupanya seorang yang intelek juga bosku ini, pikirku dalam hati.

Tiba-tiba aku terpekik ketika sudut mataku melihat persis didepan Kepala Dinas muncul dua sungut seperti antenna bergerak-gerak. Lalu muncul kepala dan seluruh tubuh seekor coro dalam ukuran jumbo. Kepala Dinas tersenyum melihat kekagetanku. Dengan santai ia menangkap serangga kotor itu, diletakkannya di telapak tangannya yang terbuka, dan dielus-elusnya dengan penuh kasih.

“Ini to, yang membuat kamu kaget, tenang saja, binatang ini lucu dan menggemaskan kok”, katanya sambil terus membelai punggung coro itu. Dan kurang ajar, coro itu rupanya tahu ia sedang dimanja dan dilindungi, sungutnya semakin digetar-getarkannya, dan matanya seakan-akan mengedip-ngedip padaku.

“Kamu tidak perlu jijik dan takut dengan serangga lucu ini”, sambungnya, “Semua pegawai di sini sudah pada akrab dengan mereka. Dulu mereka ya seperti kamu, tapi lama-lama jadi biasa berteman dengan mereka. Kamu tahu Desy kan? Dulu ia malah sampai pingsan ketika pertama kali ketemu dengan coro-coro ini, tapi sekarang, kamu lihat sendiri ia yang paling maniak bercengkerama dengan coro-coro ini. Bahkan ia punya koleksi paling banyak memelihara coro setelah aku”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Kepala Dinas itu melanjutkan ceramahnya.

”Aku memanggilmu kesini ingin membantumu beradaptasi dengan binatang-binatang ini. Orang lain mungkin menganggap serangga ini menjijikkan tapi sebenarnya hewan ini sama dengan hewan peliharaan seperti kucing, anjing atau ikan hias. Kaum coro ini punya banyak identitas. Kalau dalam bahasa Indonesia ia disebut kecoa atau lipas. Dalam bahasa Inggris ia dipanggil cockroach. Orang Jerman menyebutnya scaben, dalam bahasa Perancis bernama blatteis, dan orang Spanyol memanggilnya cucarachas.”

Aku menjadi semakin terlongoh-longoh mendengarkan penjelasannya itu. Bosku menjulurkan sebuah coro lagi yang entah dari mana sudah berada di genggamannya.

“Coba lihat dan amati dua coro ini. Bentuknya relatif sama. Lonjong, tipis, gepeng dan punya sepasang sungut panjang. Tapi sebenarnya mereka punya warna yang beraneka macam tergantung di mana ia hidup. Coro yang berasal dari daerah berhawa dingin berwarna coklat, kelabu, dan hitam. Yang hidup di daerah tropis ada yang coklat, coklat kehijauan, kekuningan, malah ada yang kemerahan atau oranye. Coba lihatlah ini..” katanya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil terbuat dari kayu berpelitur mengkilat yang diambilnya dari laci meja.

Di dalam kotak itu aku melihar coro-coro beraneka rupa. Aku terpaksa mengamatinya. Tiba-tiba aku tak dapat menahan rasa ingin tahuku dan bertanya. “Maaf Pak, sayap-sayap mereka kok berbeda-beda?”

Mendengar pertanyaanku itu, Kepala Dinas tertawa ngakak, “Nah, rupanya kau sudah mulai tertarik dengan binatang lucu ini kan? Mereka juga punya sayap-sayap yang bervariasi. Ada coro yang punya sayap lebar dan panjang, tetapi ada juga coro jenis blatta orientalis yang sayap bagian belakangnya tipis dan dapat dilipat seperti kipas. Tetapi meskipun serangga-serangga ini punya sayap, kaum coro nggak dapat terbang jauh. Sebagai gantinya, coro dapat lari kencang dan gesit karena mempunyai kaki-kaki yang panjang dan kokoh.”

“Lalu bagaimana cara mereka berkembang biak Pak?” tanyaku yang menjadi makin penasaran.

Senyum Kepala Dinas tambah lebar dan dengan lebih bersemangat ia kembali menjelaskan.

Coro berkembang biak dengan cara bertelur. Telurnya berjumlah banyak dan berentengan antara 15 sampai 60 biji diletakkan pada sebuah lapisan berbentuk kapsul yang bernama ootheca, dan rentengan itu di bawa ke mana-mana di bawah perut dan baru diletakkan kalau akan menetas. Coro-coro ini memang senang bergerombol dan bersembunyi terutama ditempat yang gelap, tumpukan-tumpukan, atau ditempat tertutup dan jarang keluar kalau siang hari. Tapi coro-coro di kantor kita ini lain dengan coro-coro di tempat lain. Di siang hari di kantor ini mereka sangat biasa menampakkan diri. Dan kamu tidak usah terlampau takut dengan mereka. Coro memang tergolong mahluk yang rakus, sisa-sisa makanan apa saja habis disantap, tapi di sini coro-coronya adalah coro priyayi yang sudah terkendali. Artinya mereka tidak lagi hidup jorok, makan sisa nasi basi, keluyuran di tempat sampah, toilet, atau lemari makan. Coro disini malah senang hidup dalam ruangan-ruangan yang bersih ber-ac,di ruang komputer, atau dalam meja-meja kantor yang terawat, sehingga baunya tidak busuk dan mengganggu.”

Aku tambah melongo mendengar kuliah percoroan dari atasanku itu. Ketika otakku masih mencoba mencerna penjelasannya itu, beliau makin bersemangat menjelaskan.

“Kamu tahu, aku sendiri malah punya hobi memelihara coro.Coro koleksiku sudah ratusan jumlahnya dalam berbagai bentuk dan jenis. Ada yang berjenis paling kecil yang panjangnya cuma 0,6 cm ada pula yang berjenis besar yang panjangnya sampai 7,6 cm. Dan ini, coba lihat, kemarin ketika aku ada urusan di Australia aku membeli coro yang berjenis ukuran luar biasa.”

Tangan Kepala Dinas mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan …astaga! Aku hampir saja berteriak ketika melihat sebuah coro yang besarnya baru kali ini aku lihat. Beliau tertawa melihat kekagetanku, binatang itu diangkat diletakkan persis di mukaku sehingga aku dapat melihat dengan jelas. Dan beliau dengan bangga kembali menjelaskan coro kesayangannya itu.

“Ini jenis kecoak Queensland Australia. Bahasa latinnya mascropanesthis Rhinoceros, panjangnya 3, 15 inci dan bobot tubuhnya 1,2 ons. Tubuhnya tidak berbau dan dapat mencapai umur tiga tahun. Warnanya bagus kan? Coba kamu pegang, ayo, nggak papa kok?”

Sambil berkata Kepala Dinas menyorongkan coro itu makin dekat ke wajahku. Pipiku dapat merasakan getaran dari sungutnya yang panjang. Aku menjadi geli sekaligus ngeri. Kepala Dinas meraih tangan kananku lalu dengan perlahan diusap-usapkan pada punggung coro besar itu. Serangga itu seakan-akan menikmati belaian tanganku. Perasaanku sendiri menjadi aneh, perlahan-lahan rasa jijikku hilang, mataku tidak lagi memancarkan kegelisahan dan permusuhan. Bahkan aku menjadi jatuh cinta dan gemas pada tubuh gemuknya.

“Nah, lucu kan? Baunya juga tidak busuk seperti yang kaubayangkan. Kalau kau mau kamu bisa mengoleksinya. Jenis itu aku masih punya satu. Siapa tahu kamu nanti jadi punya hobi pecinta dan memelihara coro. Sudah banyak rekan-rekan kerja kita yang hobi memelihara dan mengoleksi aneka coro. Nanti kita dapat berburu berbagai jenis coro termasuk yang langka dan tidak ada di tempat kita. Bahkan kita sesama pecinta coro sudah punya organisasi, namanya OPCI, Organisasi Pecinta Coro Indonesia. Kita rutin melakukan pertemuan sebulan sekali dan melakukan kegiatan penelitian, pencarian dan pelestarian coro”.

Aku mengangguk-angguk dan semakin tertarik. Kepala Dinas tersenyum makin lebar dan memberikan padaku sebuah buku berukuran tebal dengan desain sampul yang mencolok. “Ini kuberi kamu buku panduan praktis bagaimana memelihara coro yang baik dan benar “ Aku menerimanya, kubaca judulnya: Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia Bersama Coro.

Setelah itu Kepala Dinas mempersilahkan aku kembali ke ruanganku. Beliau menjabat tanganku erat-erat sambil berpesan agar aku memelihara dan merawat sungguh-sungguh coro pemberiannya serta sekali lagi menganjurkanku agar juga membaca habis buku yang diberikannya.

Semenjak pertemuan itu aku menjadi makin akrab dengan Kepala Dinas. Aku juga bertambah teman terutama di kalangan pecinta coro. Koleksi coroku juga makin banyak. Isteri dan anak-anakku tak pernah protes dan terganggu dengan puluhan coro yang berkeliaran bebas di rumah. Dan aku tak pernah lagi merasa tergganggu kalau saat bekerja di kantor beberap coro berkeliaran di ruanganku. Juga tak merasa risih bila saat menerima tamu ada coro yang bergelayut manja di kaki, di dasi, atau di pundakku. Kepada tamu-tamuku dengan bangga kuceritakan tentang hobiku memelihara dan mengoleksi coro, bahkan kepada tamu-tamu yang kuanggap khusus atau penting aku selalu memberi cindera mata seekor coro pilihan yang langka dan istimewa.

********

Di muat di Majalah Matra, 2004

KAYON
Oleh: Tjahjono Widijanto

Dari balik pepohonan dan hamparan belukar kijang kencana itu muncul seperti asap. Moncongnya sedikit lancip dengan dua bundaran mata bening sipit berputar-putar seperti mengajak berbicara. Tubuhnya emas dengan kaki-kaki ramping berloncatan mengitari Sinta dengan jenaka. Sang jelita tergoda. Rama bagai kilat meloncat menerkam, secepat kilat pula kijang berkelebat menghindar. Keduanya melesat tampak bagai meteor makin lama makin titik nun jauh dari pelupuk Sinta. Jerit semayup-sayup terdengar bagai salam perpisahan. Dan Laksmana terusir tersaruk sia-sia…

Ooo, angin rimba yang menggelepar

mengantarkan matahari gontai mencium mayat

rintihan tangis seribu wanita dan bocah-bocah

senja kelabu yang segera beradu

menjadi malam yang amat hitam, ooo!

***

Ruangan itu sesepi kuburan. Seperangkat gamelan pelog slendro masih saja terbujur di sebelah kanan dengan debu-debu yang tumbuh di atasnya. Juga sekotak wayang kesayangan almarhum Bapak. Sebuah kursi goyang besar (yang hampir tidak ada yang mendudukinya setelah Bapak meninggal), deretan foto keluarga, lampu gantung tua, semuanya tidak ada yang berubah.

“Jam berapa kamu dari datang Ut? Kami semua sudah menunggu. Cuci kaki atau mandilah dulu lalu tengoklah Ibu di kamar”

Sapaan halus itu cukup mengagetkan lamunanku. Pak Dhe muncul dari ruang tengah. Segera kucium tangan Pak Dhe, kakak satu-satunya dari Ibu. Lalu bergegas ke belakang.

Ketika sampai di kamar aku terkejut. Wajah Ibu demikian kurus, pucat dan sayu.. Ibu memang sudah sudah berusia 65 tahun, tapi beliau selama ini sangat pandai merawat tubuhnya sehingga selalu tampak lebih muda dan segar, tapi kini Ibu tampak jauh lebih tua dari seseorang yang berumur tujuh puluhan. Padahal baru tiga bulan lalu aku menengoknya dan waktu itu beliau tampak baik dan sehat-sehat saja.

Tangannya terasa dingin dan gemetaran ketika aku menciumnya. Beliau tak menjawab salamku. Air mata mengambang di pelupuknya dan tangannya tak henti mengelus-elus sebuah pigura kaca di pangkuannya. Sudah lima tahun pigura kaca bercat keemasan dengan sebuah dasi dengan warna dasar biru berleret-leret merah hati di dalamya itu terpampang di dinding kamar Ibu. Saban tahun setiap lebaran, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipasang di ruang tengah tepat di bawah foto keluarga yang berjejer di tembok. Di bawah dasi dan foto-foto itu kami sekeluarga berkumpul di malam-malam menjelang lebaran sampai lebaran ketupat, sepasar setelah hari raya. Di dasi itu tersimpan pusat segala kebanggan ibu terhadap anak-anaknya.

****

Putra Ibu tiga. Yang pertama Mbak Tutik,---Wulan Widiastuti—menjadi dosen di sebuah PTN di Surabaya dan suaminya seorang dokter. Yang kedua Mas Prasetya Utama, lulusan magister manajemen, tinggal di Semarang dan menjadi pengusaha sukses. Dan yang ragil, Mas Wahyu., lengkapnya Wahyu Kusuma Wibawa, jebolan Sarjana Hukum Universitas terkemuka di Indonesia dan menjadi pengacara di Jakarta. Sedangkan aku sendiri, Wiji Utami, sejak umur sembilan tahun ikut Ibu, beruntung dikuliahkan Ibu di IKIP swasta di kota kecil ini sambil menemani Ibu yang menjanda. Beruntung lagi karena setahun lalu bertemu dengan seorang laki-laki yang menjadi suamiku, seorang pegawai di kejaksaan negeri di ibu kota. Meski bukan anak kandung aku adalah kepercayan Ibu dan seluruh keluarga karena sebelum bersuami akulah yang menemani dan melayani Ibu, sementara ketiga putera Ibu sejak remaja sudah meninggalkan rumah untuk sekolah, kuliah dan kemudian bekerja.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan pertanyaan lirih nyaris tak terdengar, “Nduk, apakah berita-berita santer tentang kakakmu Wahyu itu benar? Benarkah Wahyu sedang dicari-cari polisi nduk?

Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ibu justru karena aku tahu siapa Mas di mata Ibu. Dari ketiga putera-putrinya, Mas Wahyulah yang paling disayangi dan palingmembetot perhatian ibu. Kalau dua kakaknya lancar-lancar saja hidupnya. Sekolah tertib, kuliah juga selesai tepat waktu dan lancar memperoleh pekerjaan, Mas Wahyu lain. Ia jarang pulang dan hampir tak pernah berkirim surat bahkan jarang minta jatah bulanannya. Kuliahnya delapan tahun baru selesai karena lebih banyak beraktivitas daripada menekuni diktat-diktatnya.

Tetapi Ibu tidak berkeberatan sama sekali. Juga ketika kami semua tahu Mas Wahyu merupakan salah seorang aktivis kampus yang kerap kali menggerakkan demonstrasi di kampusnya. Ibu juga tak khawatir sedikitpun ketika pada suatu saat mendapat kabar bahwa Mas Wahyu terpaksa menyembunyikan diri karena akan diculik seperti yang dialami beberapa temannya..

Suatu kali beliau berkata dengan penuh bangga, ”Nduk, Masmu Wahyu itu persis bapaknya. Tidak gampang menyerah dan keras memegang prinsip. Kamu tahu, Bapak dulu pegawai negeri, bahkan Kepala Bagian lho, tetapi Bapak memlih pensiun karena tidak mau berbuat neko-neko dan tidak tahan melihat kebobrokan atasan-atasannya. Jadinya Bapak lebih suka ndalang wayang kulit dan nunggu tanggapan”.

Ibu memang sangat bangga dengan suaminya, karena itu selalu berupaya keras mendidik putera-puteranya agar seperti bapak, Hardja Prawira. Beliau menasehati putera-puteranya termasuk aku dengan cara menceritakan lakon-lakon wayang. Ibu selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu ada saja kisah yang diceritakan setiap malam, kami semua dibawanya mengembara ke alam yang indah dan menakjubkan. Gaya berceritanya begitu hidup dan mempesona bagaikan kereta kencana yang membawa kami dalam berbagai gairah petualangan. Dalam cerita Ibu kami bertemu dengan tokoh-tokoh yang begitu beragam wataknya. Ada yang jujur, pemberani, namun ada juga yang culas, serakah, dan licik. Kami tersugesti menjadi tokoh satriya perwira yang rela menderita agar orang lain bahagia.

Dari semua kisah-kisah wayang itu Ibu paling suka dan paling sering mendongeng penggalan kisah Ramayana, saat Sinta isteri Rama tergoda rayuan kijang kencana penjelmaan Kala Marica suruhan dari Rahwana. Lewat cerita itu Ibu menegaskan agar kami tidak gampang hanyut oleh godaan-godaan hidup. Ibu mewanti-wanti kami untuk selalu eling bahwa Kala Marica atau kijang kencana itu akan selalu menggoda setiap waktu.

Semenjak berita pelariannya itu Mas Wahyu tak pernah pulang. Hampir empat tahun Mas Wahyu sepert lenyap ditelan bumi. Lalu sampailah pada hari yang tidak akan mungkin dilupakan oleh kami semua keluarga besar Hardja Prawira. Waktu itu hari Minggu, matahari belum lagi terang ketika sebuah mobil warna metallic masuk begitu saja di halaman rumah. Aku yang kebetulan sedang menyapu halaman hampir berteriak saat melihat sesosok tubuh turun dari mobil. Mas Wahyu pulang. Rambutnya masih saja dibiarkan gondrong sampai bahu. Tubuhnya yang dulu kurus sekarang agak gemuk dan bersih dibalut hem biru lengan panjang dengan sepotong dasi dengan warna dasar juga biru dengan leret-leret merah hati. Di belakangnya menguntit seorang perempuan cantik menggendong bayi yang kira-kira tiga bulan umurnya. Perempuan itu dipanggilnya dengan nama Desy.

Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan Ibu. Mas Wahyu pulang dengan membawa anak isterinya. Ibu tak henti-hentinya mengusap air mata sambil mengelus-elus rambut cucunya. Hari itu juga Mbak Tutik dan Mas Pras dipanggil pulang, demikian juga seluruh famili. Ibu jadi seperti punya hajat. Di depan seluruh keluarga Mas Wahyu bercerita bahwa ia telah mepunyai kedudukan di sebuah departemen pemerintah di ibu kota. Aktivitasnya sebagai mahasiswa yang kritis membuat ia dikenal oleh seorang tokoh partai politik yang selepas jatuhnya rezim lama menjadi pejabat pemerintahan yang kemudian menawarinya jabatan di departemen yang dipimpinnya. Ia juga mendirikan kantor pengacara dan sebuah LSM. Jadilah Mas Wahyu seperti sekarang. Wahyu yang tak lagi kurus dan kumal, tapi Wahyu yang rapi dengan dasi warna biru leret-leret merah dan bagasi mobil penuh oleh-oleh buat keluarga dan tetangga-tetangga.

Semenjak itu dasi biru leret-leret merah hati yang dikenakan Mas Wahyu seakan-akan menjadi pusaka keramat keluarga kami. Dasi itu diminta Ibu dan dimasukkan pada pigura kaca berbingkai emas lalu diletakkan di dinding kamar Ibu. Setiap tahun menjelang lebaran tiba, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipajang di ruang tengah tempat seluruh keluarga biasa berkumpul. Saat-saat itu pula Ibu selalu mengadakan tirakatan keluarga dengan mengundang para tetangga dan pemuda-pemuda desa kami, dan dengan bangga bercerita tentang pemiulik dasi itu sambil tak lupa menasehati para pemuda agar dapat meneladani keberhasilan si empunya dasi dalam mengangkat martabat dan nama baik keluarga dan desa kami. Mas Wahyu sendiri tetap saja jarang pulang hanya bingkisan-bingkisan hadiahnya tiap tahun tak pernah absen dinikmati para tetangga juga sumbangan ini itu untuk masjid desa, aspal jalan, irigasi sawah dan sumbangan-sumbangan lainnya.

“Utami, nduk, lagi-lagi lamunanku pecah oleh pertanyaan Ibu, “ apakah benar berita-berita tentang Masmu Wahyu ? Apakah benar Wahyu telah tergoda dan lupa diri?”

Aku mematung menatap Ibu, bibirku gemetar wajahku kualihkan dari tatapan Ibu. Tiba-tiba Ibu menggigil dan menangis tersenggal-senggal dengan hebatnya.

“OAllah Gusti….kenapa ada maling di trah Hardja Prawira?! Mengapa kamu malah jadi Marica, jadi raksasa ta ngger, ngger..?!”

Kurangkul tubuh kurus yang terbaring itu dan dengan susah payah akhirnya aku berhasil meredam gejolak perasaan dan emosinya. Kubiarkan beliau menangis hebat dalam pelukanku sampai tertidur kelelahan.

*****

Kami semua, Aku, Pak Dhe, Mbak Tutik dan Mas Pras berkumpul di ruang tengah. Pak Dhe bercerita bahwa sebulan yang lalu, menjelang magrib Mas Wahyu tiba-tiba pulang sendirian. Ibu tergopoh-gopoh menyambutnya dengan rentetan pertanyaan tapi Mas Wahyu hanya menjawab pendek-pendek seperti malas bicara. Wahyu hanya berkata bahwa ia naik bus dan sangat payah serta mengantuk. Ia langsung mandi, makan, dan tanpa berkata-kata masuk ke kamar tidur. Seminggu Mas Wahyu di rumah, seminggu pula Ibu diterpa treka-teki. Mas Wahyu nyaris tak pernah ke luar kamar dan berbicara. Wajahnya terlihat muram. Usaha Ibu untuk mengajaknya berbicara gagal, ia hanya tersenyum dan berkata bahwa ia sangat lelah dan agak kurang enak badan. Tawaran Ibu untuk memanggil dokter ditolaknya.

Genap seminggu, pagi-pagi benar Mas Wahyu balik ke Jakarta. Matahari sepenggalah ketika Ibu membersihkan kamar Mas Wahyu. Tiba-tiba pembantu Ibu mendengar jeritan Ibu dan menemukan tubuh Ibu tergeletak pingsan di kamar Mas Wahyu. Pak Dhe yang segera dipanggil ke rumah menemukan sobekan koran di tangan Ibu yang rupa-rupanya milik Mas Wahyu yang ketinggalan. Terbaca berita dalam sepotong koran yang tak utuh itu: Petugas kemarin menyegel rumah seorang pejabat berinisial WKW sebagai tersangka yang menggelapkan uang negara sebesar 650 M….

Malamnya Ibu pingsan lagi ketika dalam berita di televisi melihat Mas Wahyu dalam kawalan petugas dikerumuni wartawan seusai pemeriksaan. Semenjak itu Ibu tak mampu bangkit dari tempat tidurnya dan nyaris tidak pernah berbicara, hanya menangis dan menangis.

Kami semua terdiam mendengar cerita Pak Dhe. Dalam minggu-minggu terakhir ini kami memang sering melihat Mas Wahyu muncul di banyak koran dan televisi sebelum Ibu mengetahuinya. Kami semua telah melihat dengan mata kepala sendiri di televisi bagaimana dengan wajah pucat Mas Wahyu berteriak no comment, no comment! kepada para wartawan yang mengerubutinya. Berita di televisi dan di koran-koran itu telah menjadi bambu runcing yang menusuk-nusuk jantung kami sekeluarga.

Tiba-tiba suara Mas Pras memecahkan keheningan, “Lalu bagaimana sekarang? Apakah tidak ada diantara kita yang dapat mengusahakan agar Wahyu tidak ditahan? Apakah tidak ada diantara kalian yang mempunyai koneksi yang dapat menolong mengeluarkan Wahyu minimal mencegah penahanannya? Aku sanggup menyediakan berapapun biayanya!”

Semua mata terangkat dan memandang wajahku. Leher dan wajahku terasa dingin dan basah mendadak. Kulihat mata Mbak Tutik, mata. Mas Pras dan mata Pak Dhe begitu berharap cemas padaku.

“Ut, bukankah suamimu kerja di Kejaksaan? Tentu suamimu punya kenalan atau dapat mencarikan seseorang yang dapat membantu Wahyu, kasihan Ibu, Ut?”

Pertanyaan Mbak Tutik itu bagaikan bom yang meledak ditenggorokanku. Tiba-tiba aku melihat bayangan kijang kencana berkelebat menyelinap ruangan. Kulihat pula di langit-langit rumah wajah Kala Marica meyeringai mempertontonkan taring-taringnya menertawakan kisah-kisah kepahlawanan yang dulu indah dan mendebarkan. Kulihat pula wajah Bapak yang pucat dan dengan suara pilu semayup-sayup melagukan suluk ……

Ooo, suram-suramnya cahaya matahari

mencium mayat para satriya

bersama malam yang makin menyayat

lintang hilang sinar, bulan lalai berdandan

dan bumi semakin mesra berselingkuh

dengan raksasa yang berdendang, ooo

…………

*****Ngawi, 2005

Dimuat di Kompas, 11 November 2007

23 Februari 2008

SASTRA INDONESIA DARI KEPUJANGGAAN HINGGA KAPITALISME DARI SUFISTIK KE KAPITALISME

Sebagaimana halnya kesenian atau kebudayaan, sastra sebagai salah satu unsur budaya yang paling dominan tidaklah mungkin dapat diwujudkan bentuknya yang nyata tanpa kehadiran manusia. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.

Lucian Goldman dalam teorinya tentang strukturalisme genetik mengatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang dinamis, produk dari dari proses sejarah (kehidupan) yang terus berlangsung. Sebuah proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya yang bersangkutan.[1] Berangkat dari pernyataan ini jelas bahwa antara pengarang sebagai pusat orientasi dengan karya sastra sendiri sebagai hasil daya cipta selalu dikuasai oleh sesuatu yang absolut, yakni ; rentangan waktu. Rentangan waktu inilah yang membuat karya sastra pada suatu masa berbeda dengan masa yang lain. Demikian pula landasan penciptaan, konsepsi, tendensi, dan tema suatu karya sastra pada suatu masa berbeda pada karya sastra pada masa yang lain.

Pada masa pujangga-pujangga lama, sastra diproyeksikan sebagai sesuatu yang membawa ajaran moral secara transparan. Sastra dianggap sebagai panutan hidup yang dikemas dalam estetika bahasa, bahkan seorang pujangga atau pengarang pada masa itu diyakini sebagai pembawa, pengemban, dan pengembangan kalam Tuhan. Karena itulah unsur didaktis dan paedagogik sangat kentara pada karya sastra klasik (lama).

Pada masa kepujanggaan itu, sastra secara tegas dan terang-terangan diperuntukkan untuk mendidik dan memberikan tuntunan bagi anak cucu, bagi masyarakat dalam menjalani hidup.

Dengan jelas sekali pandangan ini tercermin dalam petikan serat Wedhatama[2] di bawah ini :

mingkar-mingkuring angkara

akarana karenan mardi siwi

sinawung resmining kidung

sinuba sinukarta

mrih katarta pakartining

ngelmu luhung

kang tumrap ing tanah Jawa

agama agaming aji

terdorong rasa senang mendidik putera-puteri

serta untuk dapat menjauhi sifat serakah Loba dan tamak

digubahlah kidung yang indah

yang berisi ilmu luhur dan panutan hidup

bagi mereka masyarakat Jawa

dimana agama menjadi pegangan hidup.

Cuplikan bait puisi dari masa kapujanggan di atas jelas sekali menunjukkan asal muasal dan tujuan sebuah karya sastra pada masa itu diciptakan. Tradisi penulisan sastra sebagai wadah untuk menyampaikan ajaran dan panutan hidup sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum masa Mataram Islam yang disebut-sebut sebagai era kejayaan sastra Jawa madya. Sebagai contoh adalah Serat Pepali karya Ki Ageng Selo, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senopati pendiri dinasti Mataram Islam.[3]

Sesuai dengan namanya yang berarti petunjuk (pepali = wewarah = petunjuk), karya sastra ini secara lebih transparan berisi nasehat-nasehat bagaimana seseorarng seharusnya menjalani hidup dan menempatkan diri pada lingkungannya untuk mencapai kebahagiaan. Hal ini tergambar pada kutipan-kutipan berikut :

Sapa-sapa kang agawe becik

Nora wurung mbenjang manggih arja

Tekeng sakturun-turune

Yen sira dadi agung

Amarintah marang wong cilik

Aja sedaya-daya

Mundhak ora tulus

Nggonmu dadi pangauban

Aja nacah, marentaha kang patitis

Ngganggoa tepa-tepa

Poma-poma anak putu mami

Aja sira ngegungake akal

Wong akal ilang baguse

Dipun edep wong bagus

Bagus iku dudu mas picis

Lawan dudu sandhangan

Dudu rupa iku

Bagus iku nyatanira

Yen dinulu asih semune prakarti

Pratap soleh prasaja

Apabila diterjamahkan dalam bahasa Indonesia, bait-bait itu kurang lebih bermakna sebagai berikut :

Barang siapa berbuat baik

Tiada urung kelak menemui bahagia

Sampai kepada keturun-turunnya

Jika mau menjadi penguasa

Memerintah rakyat kecil

Jangan sewenang-wenang

Nantinya takkan langgeng

Kamu menjadi penguasa

Janganlah sembarangan, memerintahlah yang tepat

Pakailah perhitungan

Ingat-ingatlah anak cucuku

Jangan kamu menyombongkan akalmu

Orang berakal hilang tampannya

Ketahuilah, orang yang tampan

Ketampanan bukanlah harta benda

Dan bukan pakaian

Bukan pula paras wajah

Tampan itu sebenarnya

Menimbulkan rasa sayang, memikat hati

Tingkah laku yang wajar (tidak dibuat-buat)

Demikianlah, dari kutipan di atas kita bisa melihat bahwa kitab Serat Pipali Ki Ageng Selo sarat dengan nasehat hidup bermasyarakat, dalam kapasitas seseorang sebagai pemimpin, sebagai rakyat, sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Dari contoh-contoh diatas, dapat dikatakan bahwa karya sastra klasik zaman kepujanggan adalah karya sastra yang bertendensi, yang tujuan penciptaannya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendidik masyarakatnya. Bahkan pada masa itu karya sastra benar-benar diharapkan untuk memberikan kebenaran yang profetik. Seperti misalnya karya-karya Ronggowarsito, atau karya-karya pujangga-pujangga yang lebih tua mulai dari Joyoboyo hingga era Mangkunegoro atau Yasdipura. Hal ini juga berlaku pada genre sastra kitab semacam : Bustanus Salatina, Tajus Salatina, As-rarul ‘arifin, Syaratul Asyiqin, Syair perahu, dan sebagainya.

Dalam genre sastra kitab tersebut, misalnya saja, syair Perahu dan Bustanus Salatin, di dalamnya selain terdapat ajaran kehidupan bermasyarakat juga terdapat ajaran sifistik atau tasawuf. Di dalam kitab-kitab tersebut tercermin ajaran tahapan sufistik Islam mulai dari syariat, tarekhat, hakekat dan makrifat, yang di dalam sastra klasik Jawa dikenal dengan nama : sembah raga, sembah rasa, sembah jiwa dan sembah kalbu.

Sastra zaman kapujanggan (baca : klasik) juga merupakan suatu contoh yang baik dan indah, bagaimana sebuah karya sastra bisa mewadahi semua pertanyaan abadi mengenai metafisika, epistemologi, dan etika yang selalu menjadi persoalan para ahli filsafat. Hal ini bisa terjadi karena tema yang terkandung dalam sastra zaman kapujanggan selalu meletakkan manusia dalam hubungan etika dan estetika atau dasar transedental, meletakkan logika sejajar dengan matafisika. Muatan-muatan dalam sastra kapujanggan selalu berupaya menuntun manusia pada suatu tataran keseimbangan, dimana diri pribadi seseorang dapat mengintegrasikan diri pada evolusi alam semesta dan sampai pada tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengenalan pribadi dengan alam semesta untuk mencapai keselarasan dunia (identification of the individual with the universe).

Sastra kepujanggan meletakkan peran manusia sejajar dengan peran semesta dan suasana yang terbentuk dalam karya sastra masa itu terarah kepada suasana batin yang sakral dan profetik yang bermuara kepada pertanyaan mengenai diri pribadi serta hubungannya dengan kosmis yang berstruktur. Pada saat itu sastra masa kepujanggan sengaja atau tidak sengaja berpegang pada ajaran kaum sufi : ma arafa ‘a nafsahu faqad arafa’a rabbahu”, jika manusia mengenai dirinya, maka ia dapat mengenal Tuhannya. Dalam hal ini penggalan serat Suluk Wujil,[4] sebagai salah satu karya sastra produk kapujanggan dapat dijadikan contoh yang baik.

Ya marma lunga ngikis ing wengi

angulati sarahsaning tunggal

sampurnaning langkah kabeh

sing pandhita sunduning

angulati sarining urip

wekasing jati wenang

suruping raditya wulan

reming netra kalawan suruping pati

wekasing ona-ora”

“Sesungguhnya diam-diam hamba pergi menyusur malam

berusaha mencari rahasia tunggal

untuk mencari kesempurnaan segala tata laku

para pendeta telah hamba kunjungi

mencari hakekat hidup

akhir kuasa sejati

akhir utara selatan

akhir bilamana matahari dan bulan terbenam

akhir bilamana mata terkatup dan akhir bilamana maut menjemput

akhir ada - tiada”

Kutipan bait Suluk Wujil di atas memperlihatkan bagaimana sastra masa kapujanggan berusaha meletakkan manusia dalam bingkai religius-transedetal, meletakkan manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos dalam hubungan yang seimbang, keduanya diumpamakan seperti dua buah kaca yang setiap permukaannya memantulkan permukaan yang lain. Pada datu pihak manusia hanya terwujud dalam hubungannya dalam makrokosmos yang menentukannya, sedangkan para pihak yang lain manusia mengetahui makrokosmos dan menguasainya. Hal ini berarti bahwa seluruh kemungkinan yang terbuka dalam diri alam semesta pada dasarnya terkandung dalam hakekat intelektual manusia, termasuk seluruh wujud dan benda. Ini berarti pula bahwa seluruh kemungkinan dunia merupakan suatu kebenaran dan pengertian dasar yang hadir dalam diri manusia. Kaum sufistik menyebutkan sebagai : “al-kaunu insanun kaburun, wal insani kaunu shoghirun, alam semesta adalah manusia besar dan manusia adalah alam semesta kecil.[5]

Dalam menginsyafi keterpaduan antara dua jagat yang merupakan satu kesatuan itu pemilihan simbol dalam sastra masa kapujanggan cenderung pada pemilihan simbol yang bersifat religius (imanen-transenden), simbol yang dipandang sebagai ungkapan indrawi atas realitas yang tanseden tidak sekedar simbol dalam sisitem logika dan ilmu pengetahuan yang membatasi simbol dalam fungsinya sebagai tanda yang abstrak. Simbol-simbol yang merujuk pada suatu yang metafisik yang bersifat ke-Illahian ini tidak saja terdapat dalam karya sastra masa lampau, tetapi bahkan hampir mewarnai seluruh pola kehidupan, baik kesenian, tata krama bahkan juga perlengkapan senjata (misalnya keris).

Dalam bidang seni pertunjukan (performance art), simbol religius ini mencapai puncaknya dalam pertunjukkan wayang purwa. Wayang pada masa kapujanggan adalah simbol pengalaman dan usaha manusia serta perjalanannya dalam upaya memperoleh kesempurnaan hidup. Ia berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia sekaligus menggambarkan proses hidup manusia dalam kurun waktu tertentu. Karena itu hampir semua perlengkapan wayang, seperti : kelir, gedebok, blencong, cempala, serta kotak mengandung simbol-simbol tertentu. Secara gamblang Serat Centini,[6] jilid IX pupuh 598, tembang megatruh bait tiga dan empat :

janma tamma karya lejem ing pandulu

sasmitaning Hyang Sejati dalang lan wayang

dinunung, pamanggone mawarni, kartya upameng pandulon.

Kelir jagad gumelar wayang pinanggung,

asnapun mahluking widhi, gedebog bantala wegung

blencong padhanging urip, gamelan gendhinging lelakon.

Manusia utama membuat pandangan samar-samar

sebagai pertanda Hyang Sejati, dalang dan wayang

mempunyai tugas menempatkan kehendak Tuhan yang beraneka

macam dengan cermin yang terlihat.

Kelir adalah jagad diatas panggung dimana terdpaat beraneka ragam makhluk Tuhan, gedebog (batang pisang) adalah bumi seisinya, blencong merupakan penerang hidup, gamelan adalah irama lakon kehidupan manusia.


Dari kutipan diatas, terlihat bahwa kelir atau pentas merupakan simbol dunia, tempat manusia menunaikan tugasnya masing-masing. Blencong adalah simbol dari sinar Illahi yang menghidupi wayang-wayang yang merupakan simbol dari makhluk hidup. Gedebog atau batang pisang adalah tanah atau bumi tempat semua makhluk berpijak. Di atasanya sebelah kanan dan kiri dijajarkan wayang-wayang yang melambangkan berbagai manusia dengan wataknya, dan dalang sebagai penutur cerita melambangkan kekuasaan Tuhan, serta gemelan yang merupakan simbol simponi alam semesta, keharmonisan, keterpaduan, keserasian dan kebersamaan antara manusia, Tuhan dan semesta.

Dalam tradisi sastra klasik ini untuk menciptakan sebuah karya yang mampu memberikan tuntunan lahir batin dibutuhkan seorang kreator, pencipta yang ‘utuh’ mampu manunggal dan membuka diri dengan alam semesta. Karena itu para pujangga pada masa klasik secara sosiologis menempati kedudukan khusus di masyarakat dan dianggap penerus dan “penafsir” sabda Tuhan yang memiliki keyakinan dan kesungguhan spiritual. Di dalam keyakinan dan kesungguhan spiritual inilah para pujangga dalam proses kreatifnya sangat dekat dengan prosesi ritual yang merupakan bagian dari proses kreatif itu sendiri. Di dalam keyakinan dan kesungguhann inilah seorang pujangga masa Kediri atau Majapahit saat kali pertama menggoreskan tintanya menyempatkan diri merenung dan berucap Awighan astu nawa sidham, dan seorang pujangga Islam Jawa memerlukan waktu untuk mengheningkan diri, mahas ingasepi serta mengucapkan Bismillahirrahmannirahim dengan segenap kesungguhan hati dan batin memohon restu dan tuntunan Tuhan penguasa semesta.

***

Lalu bagaimana dengan sastra di masa ini ? Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan begitu dahsyat talah mengubah bahkan mengoyak dunia. Komunikasi muncul sebagai raja dan telah menggeser bahkan menghilangkan batas-batas budaya masing-masing bangsa. Kebudayaan yang semula dibatasi dengan ketat oleh dimensi ruang dan waktu beralih kepada kehidupan global yang membuat orang dipaksa saling terlibat dan saling berkepentingan.

Dunia telah sampai pada kondosi evolusioner yang panjang yang mengajak manusia pada masa pasca industrial yang melahirkan semangat pembangunanisme yang membawa perubahan ekonomi dan sosial yang sangat rentan oleh persaingan yang keras dan kejam. Dikatakan oleh Robert Heilbroner bahwa banyak bermunculan “lembaga-lembaga” tempat pembentukan pola-pola tipikal kekuasaan, kepatuhan dan keyakinan-keyakinan yang dibentuk oleh suatu dinamikan yang berbentuk kelas melawan kelas, suku melawan suku, bahkan peradaban melawan peradaban, serta banyaknya skenario-skenario dari masyarakat yang digerakkan oleh “keharusan-keharusan” dari kekayaan. Inilah dia : Kapitalisme !

Lebih lanjut mengenai zaman kapitalisme ini, Adam Smith (dalam Heilbroner, 1991) mengatakan : “Bilamana terdapat harta dalam jumlah besar, terdapat pula sejumlah besar ketimpangan dan ketidak merataan. Untuk seorang yang sangat kaya paling tidak ada lima ratus yang sangat miskin, dan semakin banyak kemewahan semakin bisa dibayangkan kemelaratan yang lebih banyak lagi.” Keadaan zaman yang seperti ini memaksa orang untuk merekontruksi diri untuk saling bercuriga terhadap sesamanya yang akhirnya mengakibatkan krisis sosial dan digantikan dengan kecenderungan akan pilihan baru semacam materialisme, hedonisme, dan individualisme.

Timbulnya kapitalisme membuat bergesernya citra manusia sebagai pelaku sosial dan budaya yang pada gilirannya akan dapat mengubah orientasi budaya sebuah bangsa. Pada zaman sebelum kapitalisme citra manusia lebih ditonjolkan sebagai sosoknya sebagai makhluk Tuhan dengan nilai-nilai ideal, menjadi berubah sebagai sosok yang lekat pada unsur material dan fisikal. Ini dapat terjadi karena bangunan citra manusia itu ditegakkan berdasarkan unsur-unsur yang selalu dipandang penting sebagai penopang keberadaan manusia. Dan bangunan citra ini akan dianggap sebagai penopang keberadaan manusia yang dapat difungsikan untuk pemandu, rujukan, tolak ukur perilaku manusia (Saryono, 1997). Citra manusia ini dibangun atau dibentuk dalam seluruh sub sistem budaya. Atau dengan kata lain, pencitraan manusia dilakukan melalui subsistem budaya. Bukan hanya subsistem sosial dan dan material saja yang dipakai untuk membangun dan membentuk citra manusia, melainkan juga subsistem mental-kognitif atau lambang yang terlekati makna dan nilai (Kuntowijoyo, 1987; Kleden, 1987; Saryono, 1997).

Berhadapan dengan zaman semacam ini, sastra jelas tidak bisa menolaknya. Dalam hubungan ini sastra mencoba menghadirkan kisah dan berita tentang realitas secara dialogis, transformatif, dan orisinal melalui imajinasi dan kongkretisasi. Kisah dan berita tentang realitas ini berwujud representasi realitas yang dikerangkai dan didasari oleh episteme tertentu (simak Said, 1994; Sugihartono, 1996). Representasi sosial karena merupakan hasil kegiatan mental dari sastrawan yang hidup dan menjalani mengembangkan kehidupan ditengah masyarakat (Saryono, 1989).

Berkaitan dengan perubahan sosial-budaya yang terjadi di masyarakat, sastra dapat dimengerti sebagai sebuah wacana yang menjadi sejarah mentalitas dalam kerangka episteme tertentu. Sebagai sejarah mentalitas, ia memancarkan dan menampilkan hayatan, renungan, gagasan, pandangan, bahkan mencetuskan sebuah perlawanan. Dalam kaitan inilah realitas budaya dalam karya sastra bukan merupakan replika dan kopi dari realitas, melainkan realitas yang dikisahkan, atau meminjam istilah Teeuw (1995), realitas dalam karya sastra merupakan realitas hilir, bukan realitas hulu.

Berhadapan dengan perubahan yang terjadi pada zaman ini, sastra kita lebih cenderung berbicara tentang krisis identitas dan kemelut hidup dimana nilai-nilai berubah pada goyahnya kepercayaan kepada takdir. Terjadilah pergeseran warna tematis antara karya sastra masa kapujanggan dengan sastra kita lebih condong meletakkan persoalan manusia tidak lagi dalam perspektif metafisis-spiritual, tetapi lebih meletakkan diri pada perspektif sosial-huimanistik disebabkan karena terlalu kerasnya himpitan material dan tuntutan untuk berfikir serta bertindak secara rasional. Hal ini tentu saja bukan berarti sastra kita saat ini tidak mempunyai muatan spiritual-transedental.

Gejala diatas terjadi karena tata nilai sosial budaya telah mengalami pergeseran-pergeseran yang membawa kita kepada dua sisi yang bertolak belakang. Ibaratnya kaki kita berada pada dunia yang berbeda. Kaki yang satu masih berada dan dicekam pada kondisi tata nilai sosial budaya dan politik yang agraris tradisional (baik dalam suasana psikologis dan empiris), lalu kaki kita yang lain telah dipijakkan dan belum tegak benar pada dunia industri kapitalistik yang serba cepat yang membuat kita justru terjebak pada posisi yang nanggung.

Keadaan yang nanggung ini telah membawa sastrawan-sastrawan Indonesia mutahir kepada sebuah kegelisahan untuk melakukan transformasi budaya dan transformasi pemikiran pada karya-karya mereka. Sebagai wujud ‘perantauan’ budaya ini sastrawan berusaha menghadirkan atau menawarkan sebuah citra manusia dan kebudayaan baru Indonesia, sehingga jadilah sastra sebagai wahana pembentuk citra manusia dan budaya baru sekaligus teks citra budaya dan manusia (baru) Indonesia. Dikatakan demikian karena sastra masa kapitalis ini telah menjadi gelanggang pencurahan kondisi-kondisi manusiawi atau representasi ruang publik bagi sastrawan.

Para sastrawan kita masa kapitalisme ini dipaksa untuk melakukan perantauan budaya dan mencitrakan sosok dirinya sendiri dengan berusaha menerjemahkan dan memahami berbagai arus pemikiran untuk menghasilkan suatu prototipe baru bagai wawasan kebudayaan mereka di tengah irama kebudayaan lainnya. Tentu saja keberangkatan mereka tidak dalam “kekosongan”, karena tentunya sangat mustahil bagi mereka untuk sama sekali meninggalkan masa lalunya. Bahkan karya-karya mereka menunjukkan bahwa perantauan yang mereka lakukan ada yang dibekali dengan semangat restorasi atas nilai-nilai budaya yang telah digeggam terlebih dahulu. Namun karena kondisi yang berbeda dengan masa kapujanggan maka sastra yang lahir sekarang lebih berkutat pada masalah sosial, dan sulit ditemukan karya sastra yang adhem ayem sepeti zaman kapujanggan.

Karena proses yang terjadi adalah proses dialektika maka citra-citra “baru” yang ditawarkan para sastrawan itu masih mengandung atau paling tidak dinafasi unsur tradisi dan corak pemikiran lama. Sebagai contoh kasus yang terdapat pada novel Para Priyayi. Dalam novel ini terlihat ada upaya restorasi atas nilai budaya Jawa dan upaya merujukkannya dengan budaya yang tata nilainya lain sama sekali. Penawaran tentang citra multikulturalisme ini disimbolkan dengan perkawinan tokoh Lantip dan Halimah. Namun sebaliknya novel ini juga mengetengahkan hal yang sama sekali berbeda atau bahkan mungkin dianggap tabu pada sastra kapujanggan, karena novel ini juga mengisahkan ruwet dan lunturnya norma idealis dalam keluarga seperti etika kesopanan/kesusilaan berhadapan dengan budaya modernisme. Misalnya dalam novel itu diperlihatkan bagaimana anak Noegroho, bernama Marie yang hamil di luar nikah, juga hubungan seks di luar nikah antara Harimurti dan pacarnya. Cerita semacam ini tentu jarang dijumpai dalam sastra kapujanggan yang selalu menempatkan diri sebagai sumber ajaran dan tuntunan.

Sastra Indonesia mutahir sebagai produk zaman kapitalis adalah karya sastra yang banyak bercerita mengenai usaha pencarian nilai-nilai humanistik yang otentik dalam sebuah dunia yang tergradasi, dimana terdapat perjuangan untuk membangun kembali suatu totalitas atas dunia yang sudah menjadi fragmentaris --- meminjam istilah Faruk HT, pergumulan antara totalisasi dan detotalisasi --- , pada saat inilah sastra masa kapitalis telah menempatkan manusia lepas dari semesta. Tergambarlah sosok manusia yang terlempar dan teralienasi hubungannya dengan alam semesta dan hakekatnya.

Salah satu tema setral sastra produk kapitalis ini antara lain adalah pergulatan manusia tentang identitas dirinya sebagai makhluk sosial semata-mata dan ketegangan-ketegangan antara hal-hal yang bersifat irasional dan rasional. Hampir semua karya masa kapitalis berbicara tentang kesadaran manusia sebagai sosok oriented yang subyektif dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Akibatnya terjadi loncatan pemikiran yang ekstrim yang juga menafsirkan batas lingkup geografis tertentu dengan laihirnya sosok-sosok atau tokoh-tokoh pengembara dalam karya sastra yang boleh jadi merupakan pengejawantahan dari pencitraan sosok pengarang sendiri hasil reaksinya dari kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Tokoh-tokoh ini tidak lagi membatasi diri dalam suatu lingkungan tertentu seperti misalnya ditampilkan J.B Mangunwijaya dalam novelnya Burung-burung Rantau.

Manusia atau tokoh yang digambarkan dalam Burung-burung Rantau ini adalah citra serupa manusia Indonesia pasca modern versi Mangunwijaya, yang serupa burung-burung muda yang harus bebas mengepakkan sayapnya dalam kondisi budaya apapun, menempatkan diri sebagai insan humanis yang universal. Namun bertolak belakang dengan sastra kapujanggan, novel inipun lebih banyak berbicara masalah sosial atau humanisme dengan menitik beratkan dengan citra manusia-manusia yang melepaskan diri dari batas-batas wilayah geografis maupun kultural yang mengikatnya yang tidak jarang menimbulkan clash dan benturan nilai-nilai budaya yang berebutan menerjangnya yang tidak jarang dapat menimbulkan kekaburan identitas bahkan kekacauan identitas, sehingga bisa jadi manusia versi Mangunwijaya adalah manusia yang rawan ditimpa krisis identitas. Hal ini dapat dicontohkan pada tokoh Neti yang cukup membuat bingung orang tuanya karena dengan sebuah kesengajaan mencoba “melanggar” norma-norma umum yang sebelumnya sangat ketat membatasi perilaku sehari-hari. Misalnya tokoh Neti tidak segan-segannya memakai kaos you can see, bahkan tidak memakai bh, memilih tidak bersuami, dan perilaku lainnya yang dalam kacamata masyarakat dulu suatu hal yang tak pernah terbayangkan. Juga kakaknya yang ahli nuklir memilih kawin dengan gadis Yunani yang berarti dengan sengaja memilih tanah airnya tak lagi dibatasi wilayah geografis, adik Neti yang mati karena obat bius, kakak sulung Neti yang menjanda dan selalu bertindak dan bersikap dalam kerangka berbisnis meski dalam urusan keluarga sendiri.

Kalau diperhatikan terlihat betapa novel ini, juga novel-novel seangkatannya yang lain misalnya : Burung-burung Manyar, Para Priyayi, Pasar, Tirai Menurun, Durga Umayi, dan sebagainya lebih cenderung berbicara masalah sosial budaya yang langsung berkaitan dengan masalah yang timbul akibat lahirnya pembangunanisme yang lahir dari kapitalisme yang sekaligus memberikan upaya pencitraan sosok manusia Indonesia yang lahir karena orientasi pembangunan yang lebih mengacu pada hal-hal yang fisik (materialisme) dan perekonomian.

Di tengah derasnya arus zaman ‘kecerdasan’ dan kekuatan berfikir secara rasional bahkan licik dan munafik ini, sastra masa kini sesuai dnegan kodrat antropologisnya atau humanitis kulturalnya lebih memproyeksikan dirinya sebagai sistem lambang budaya yang intersubyektif dari suatu masyarakat. Sebagai sistem lambang budaya, ia bukanlah artefak, melainkan wacana yang menjadi fakta mentalitas, fakta kesadaran personal ditengah kesadaran kolektif budaya, dan fakta sosial dari masyarakat yang menghasilkannya. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya sastra Indonesia masa ini secara efektif bisa dipakai untuk membangun atau membentuk sosok manusia Indonesia yang mungkin bisa berbeda dengan manusia Indonesia masa lampau. Namun ada yang selayaknya tetap patut diperhatikan apa yang pernah ditengarai dan diingatkan oleh sastrawan besar Ionesco; “sastra modern karena kelewat humanistik dan kehilangan perspektif metafisik maka cakrawalanya hanya akan sampai pada batas lingkaran bumi dan tidak mampu memberikan cahaya serta menyampaikan pencerahan sebagai tugas paling penting bagi seorang sastrawan !”.

Akhirnya yang bisa dicatat di akhir tulisan ini adalah sastra hari ini memang berbeda dengan sastra masa lampau, sastra zaman ini berbeda dengan zaman yang akan datang, hari ini berbeda dengan esok pagi. Tetapi sastra yang serius akan tetap mengahadirkan manusia dengan segala problematika kemanusiaannya secara jujur, serta telanjang sesuai dengan zamannya.

Tjahjono Widijanto : Jurnal Ulumul Qur’an, no 1/VIII, 1998.



[1]). Dalam teorinya tentang “Strukturalisme genetik”, Goldman membangun perangkat kategori yang saling berhubungan satu sama lain. Yakni : Fakta kemanusiaan, subyek kolektif, strukturasi, pandangan hdup, serta pemahaman dan penjelasan. Lebih lanjut Goldman menjelaskan adanya gagasan-gagasan, aspirasi dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu.

[2]). Wedatama karya sastra Jawa klasik karya K.G.P.A.A . Mangkoenegoro IV (1809-1881). Terdiri dari lima bentuk tembang : Pangkur terdiri dari 18 bait, Sinom terdiri dari 18 bait. Wedatama secara umum berisi tuntunan hidup bermasyarakat, pelajaran terhadap pemimpin, pelajaran terhadap anak/siswa, pelajaran untuk kawula (rakyat) dan pendidikan religius serta pandangan ketuhanan.

[3]). Ki Ageng Selo merupakan moyang dari raja-raja Mataram Islam. Menurut cerita, ia adalah bekas perwira Demak yang menyingkir ke Solo dan menyebarkan ajaran Islam di Solo. Serat Pepali ditulis dlam bahasa Jawa kuno kurang lebih pada abad XVI. Ki ageng Selo adlaah cucu Raden Lembu Peteng atau Raden Bondar Kejawan putra Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir dari isterinya yang termuda yang berasal dari Wandan (Bandaneira). Serat Pepali mencerminkan perlihan zaman dari Zaman Hindu-budha masa Majapahit ke zman Islam Demak sampai masa Mataram Islam. Isinya merupakan sari filsafat hidup dari para Wali Songo guru-guru dari Ki Ageng Selo yang merupakan suatu sintesa dari unsur-unsur keagamaan yang bernafaskan Islam dan peleburan unsur-unsur Hindu.

[4]). Serat Suluk Wujil menggambarkan masa peralihan dari zaman Jawa-Hindu ke masa Jawa-Islam (pemerintahan Demak). Tokoh Wujil dalam Suluk Wujildisebut-sebut sebagai bekas abdi Majapahit yang bijaksana, mumpuni segala ilmu pengetahuan (Bhs. Jawa : telas sandining aksara), yang berguru kepada Sunan Bonang. Suluk Wujil ini telah ditelaah oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka dengan judul : “De Geheine Leer Van Sunan Bonang” (Ajaran Rahasia Sunan Bonang), tahun 1938.

[5]). Dalam ajaran sufistik Jawa dikenal adanya dua jagat : Jagat gedhe, jagat yang berada di luar diri manusia (semesta), dan jagad cilik, dunia yang berada dalam diri manusia. Konsepsi filsafat Jawa menekankan perlunya keharmonisan antara dua jagat yang saling mempengaruhi. Kedua jagat ini merupakan suatu kesatuan yang bersenyawa, hal ini dibuktikan dengan anasir-anasir alam yang terdapat dalam diri manusia yaitu : ait, tanah, udara, apai dan eter. Selanjutnya anasir-anasir alam ini dalam diri manusia berwujud atau bersenyawa dalam empat nafsu : amarah, aluamah. Sufiah, dan mutmainah. AMarah, aluamah, dan mutmainah diambil dari konsep Islam, sedangkan sufiah adalah pengembangan dari tasawuf jawa.

[6]). Serat Centini terdiri dari 12 jilid dengan tebal lebih dari 3500 halaman. Penyusunan kitab ini atas perintah kaneng Gusti Pengeran Adipati Anom Amengkunegara II (Pakubuwana V), putra dari Pakubuwana IV. Kitab ini disusun oleh Ki Ngabei ROnggosutrasna, R. Ng. Yasadipura II, dan R. Ng. Sastradipura, dengan melibatkan berbagai ahli dari segala bidang kehidupan. Serat Centini memuat berbagai ajaran dalam bingkai konsepsi jawa, mulai dari bidang agama, kebatinan, ngelmu kesunyatan (ilmu kesempurnaan hidup), ilmu kesaktian, ilmu kanuragan, pengetahuan seks, ilmu perbintangan, watak-watak musim, upacara adat, tempat-tempat kuno, kesusaatraan, ilmu pertanian, ilmu peternakan, obat-obatan, seluk beluk senjata, ilmu perumahan, pengetahuan tentang kuda, binatang piaraan, kerawitan (musik), tari-tarian, sejarah (babad), keadaan di goa-goa, pesisir, gunung-gunung, berikut dengan aneka sosial kehidupan