RSS

24 Februari 2008

Cerpen:

C O R O

Oleh: Tjahjono Widijanto

Sudah tiga minggu aku ditempatkan atau tepatnya dipindahkan bekerja di bagian ini. Bagian yang banyak orang mengatakan sebagai bagian yang lumayan basah di kota kecil ini, lebih-lebih aku dipromosikan sebagai Kasubdin, jabatan yang sebenarnya tak pernah kubayangkan sebelumnya. Keluargaku, terutama Ibu dan isteriku saking gembiranya sampai mengadakan pesta kecil-kecilan atas kedudukan baruku itu.

Semua urusan berjalan lancar, baru pada minggu keempat aku mulai menemukan sesuatu yang membuatku tak habis pikir. Dimulai ketika suatu pagi aku datang lebih awal (aku ingin memberi contoh kepada staf-stafku) ke kantor. Ketika aku memasuki ruang kerjaku yang tidak terlampau luas tapi cukup bersih dan tertata rapi, nampak seekor coro berkeliaran di meja kerjaku. Dengan asyiknya binatang menjijikkan itu berlenggak-lenggok di atas tumpukan map dan buku-buku. Ketika aku datang dan membuka pintu, binatang itu berhenti dan menatapku sambil menggetarkan sungut-sungutnya. Ia sama sekali tak gentar ketika aku mendekatinya. Kuraihraih koran di sudut meja, menggulungnya lalu kupukulkan , “Mampus, kau!”

Tak kuduga binatang yang tampaknya lemah itu dapat berkelit dengan gesit. Ia tahu-tahu sudah berpindah di atas kursi. Aku memburu dan memukulnya sekali lagi. Tapi bak seorang pesenam, coro itu melenting dan hinggap di rak buku. Aku mencecar dengan pukulan berikutnya, dan …prangg! Kaca tempat melindungi buku-buku yang berjejer di dalamnya pecah berantakan. Serangga konyol itu sudah berpindah di lantai dengan tetap menggetarkan sungutnya yang panjang seolah-olah menertawakan kemarahanku.

Ada apa Pak?” tanya Parman pegawai kebersihan yang tiba-tiba muncul di balik pintu rupanya ia mendengar suara kaca pecah tadi.

“Itu Man, coba lihat!” kataku. Parman tersenyum melihat coro itu yang segera menghilang di antara lekukan antara meja dan rak buku. Parman segera membersihkan pecahan kaca yang berserakan di lantai.

Aku segera melupakan insiden kecil itu. Tapi esok harinya aku merasa ditantang. Betapa tidak, ketika datang tidak saja satu coro tapi aku melihat lima coro sekaligus. Mereka berkumpul di atas meja kerjaku, dua di atas map, dua di atas buku dan satu diatas sandaran kursiku. Seperti kemarin serangga menjijikan itu menggetarkan sungut-sungutnya seakan-akan memberi tabik padaku.

Aku langsang meradang. Tas yang kujinjing langsung meluncur dan menghantam meja dengan kerasnya. Tembakanku melesat. Coro-coro itu malahan berkumpul di sandaran kursiku dengan santainya. Aku diam mengintai. Mereka tenang-tenang saja tak menghiraukanku. Aku jadi lupa dengan rasa jijikku, melompat sambil menghantamkan telapak tanganku. Kursi mencelat tapi tak ada satupun yang jadi korban. Keluarga coro itu menghilang di balik rak buku. Aku langsung berteriak mengomando Parman untuk mengulang membersihkan kembali ruang kerjaku.

Kejengkelanku makin hari makin memuncak. Coro-coro­ itu seperti sengaja menerorku. Mereka muncul tidak saja saat ruanganku sepi di pagi hari. Tapi juga siang hari saat aku sibuk bekerja mereka muncul hilir mudik di mejaku. Bahkan yang memalukan saat aku sedang menerima tamu mereka berkeliaran bahkan dengan beraninya memanjat sepatuku dan merayap di punggungku. Berkali-kali pula barang-barang di mejaku jadi korban salah sasaran, bahkan pernah gelas dan asbak kaca pecah berantakan dan tanganku berdarah, tapi coro-coro­ itu sepertinya selalu punya kesaktian untuk menghindar. Berkali-kali pula kusuruh Parman melakukan razia besar-besaran di ruang kerjaku, tapi selalu hasilnya nol besar.

Aku benar-benar sampai pada puncak kemarahan. Aku merasa dilecehkan habis-habisan ketika suatu siang di meja dan di laci mejaku penuh dengan telur-telur coro. Telur-telur coro itu disimpan induknya pada tempat serupa kapsul persis seperti selonsong peluru. Biasanya telur-telur dalam kapsul itu dibawa induknya ke mana-mana baru diletakkan setelah hampir menetas. Benar juga, sesaat kemudian aku melihat kapsul-kapsul itu pecah, telur-telur itu menguak dan aku melihat berpuluh-puluh coro kecil berhamburan lari menyebar ke seluruh sudut ruang-ruangku. Dan akibatnya lagi-lagi Parman yang jadi sasaran kemarahanku.

“Kamu itu benar-benar nggak becus Man! Masak kamu nggak bisa mengurusi coro-coro itu. Kamu kan bisa beli obat serangga. Semprot itu seluruh celah-celah dinding, rak, dan laci-laci!” teriakku ketika kejengkelanku tambah memuncak.

“Maaf Pak, kemarin sudah saya semprot kok,” kata Parman sambil menundukan kepala,. “Tapi serangga-serangga itu sepertinya kebal. Malah saya sudah habis dua botol obat serangga.”

“Kamu kan bisa cara lain. Kalau perlu ajak petugas kebersihan lain untuk bersih-bersih total. Bersihkan semua ruangan yang ada di gedung ini. Kalau perlu hubungi petugas kesehatan biar mereka menyemprot gedung ini dengan DDT!” teriakku tambah keras.

Parma hanya diam menunduk. Tetap sejurus kemudian dia mengangkat mukanya. Wajahnya jadi ragu-ragu. “Maaf Pak, eeh, anu Pak, tidak saja di ruangan Bapak yang banyak coronya. Semua ruangan dalam gedung ini dipenuhi coro-coro yang hidup bebas”.

” Seluruh ruangan, gedung sebesar dan sebersih ini? Ah, kamu jangan ngaco!”

“Sumpah Pak, saya tidak bohong. Malah di ruang Kepala Dinas paling banyak dan subur. Bahkan di ruang Mbak Desy sebelah itu juga banyak dan gemuk-gemuk,” katanya meyakinkan.

Aku menjadi terbengong-bengong, terlebih lagi ketika Parman menyebut-nyebut Kepala Dinas juga Desy, pegawai termuda dan paling cantik di kantor ini. Aku penasaran. Mulai hari itu aku menjadi seperti detektif mengamati setiap ruang dengan diam-diam terutama ruang Desy yang terletak di sebelah kanan ruang kerjaku.

Sampai pada suatu siang aku dapat melihat bahwa Parman tidak omong kosong. Ruang Desy yang bersih rapi dengan tatanan warna yang romantis itu kerap kali melintas beberapa coro yang gemuk-gemuk. Bahkan aku nyaris terpekik ketika suatu siang pada saat jam istirahat aku melihat Desy bercengkerama dengan seekor coro ukuran besar. Tangannya dengan lembut memegang coro itu dan didekatkannya pada mukanya yang putih dan cantik. Sambil tersenyum-senyum, sungut binatang menjijikkan itu disentuh-sentuhkannya pada pipi, hidung, dan bibirnya. Dan masyaallah! Aku menjadi mual seketika, ketika Desy membuka kancing baju atasnya, lalu mengusap-ngusapkan sungut, dan seluruh tubuh serangga itu ke balik bhnya dan matanya setengah terpejam menikmati sentuhan dan usapan sungut binatang keparat itu. Aku tak tahan menahan mualku dan bergegas lari ke belakang sampai-sampai menabrak kursi di belakangku. Desy terkejut, tapi melihat aku berlari ia cuma tersenyum dan kembali menikmati permainannya itu.

Sehari setelah kejadian itu aku dipanggil menghadap Kepala Dinas di ruangannya. Benakku langsung dipenuhi dengan berbagai pertanyyaan, dan jantungku berdetak lebih cepat dari biasa. “Jangan-jangan ini gara-gara coro si Desi itu, ”, pikirku.

“Mari masuk Dik, duduk di sini, santai saja”, sambut Kepala Dinas dengan ramah sambil tersenyum lebar menatapku. Dengan ragu-ragu aku menggeser kursi di depannya. Ruangan ini begitu rapi dengan dominasi warna biru lembut. Tumpukan map di meja, tiga pesawa telepon, dan rak di samping dan di belakang tempat duduknya penuh dengan buku-buku tebal. Rupanya seorang yang intelek juga bosku ini, pikirku dalam hati.

Tiba-tiba aku terpekik ketika sudut mataku melihat persis didepan Kepala Dinas muncul dua sungut seperti antenna bergerak-gerak. Lalu muncul kepala dan seluruh tubuh seekor coro dalam ukuran jumbo. Kepala Dinas tersenyum melihat kekagetanku. Dengan santai ia menangkap serangga kotor itu, diletakkannya di telapak tangannya yang terbuka, dan dielus-elusnya dengan penuh kasih.

“Ini to, yang membuat kamu kaget, tenang saja, binatang ini lucu dan menggemaskan kok”, katanya sambil terus membelai punggung coro itu. Dan kurang ajar, coro itu rupanya tahu ia sedang dimanja dan dilindungi, sungutnya semakin digetar-getarkannya, dan matanya seakan-akan mengedip-ngedip padaku.

“Kamu tidak perlu jijik dan takut dengan serangga lucu ini”, sambungnya, “Semua pegawai di sini sudah pada akrab dengan mereka. Dulu mereka ya seperti kamu, tapi lama-lama jadi biasa berteman dengan mereka. Kamu tahu Desy kan? Dulu ia malah sampai pingsan ketika pertama kali ketemu dengan coro-coro ini, tapi sekarang, kamu lihat sendiri ia yang paling maniak bercengkerama dengan coro-coro ini. Bahkan ia punya koleksi paling banyak memelihara coro setelah aku”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Kepala Dinas itu melanjutkan ceramahnya.

”Aku memanggilmu kesini ingin membantumu beradaptasi dengan binatang-binatang ini. Orang lain mungkin menganggap serangga ini menjijikkan tapi sebenarnya hewan ini sama dengan hewan peliharaan seperti kucing, anjing atau ikan hias. Kaum coro ini punya banyak identitas. Kalau dalam bahasa Indonesia ia disebut kecoa atau lipas. Dalam bahasa Inggris ia dipanggil cockroach. Orang Jerman menyebutnya scaben, dalam bahasa Perancis bernama blatteis, dan orang Spanyol memanggilnya cucarachas.”

Aku menjadi semakin terlongoh-longoh mendengarkan penjelasannya itu. Bosku menjulurkan sebuah coro lagi yang entah dari mana sudah berada di genggamannya.

“Coba lihat dan amati dua coro ini. Bentuknya relatif sama. Lonjong, tipis, gepeng dan punya sepasang sungut panjang. Tapi sebenarnya mereka punya warna yang beraneka macam tergantung di mana ia hidup. Coro yang berasal dari daerah berhawa dingin berwarna coklat, kelabu, dan hitam. Yang hidup di daerah tropis ada yang coklat, coklat kehijauan, kekuningan, malah ada yang kemerahan atau oranye. Coba lihatlah ini..” katanya sambil menyodorkan sebuah kotak kecil terbuat dari kayu berpelitur mengkilat yang diambilnya dari laci meja.

Di dalam kotak itu aku melihar coro-coro beraneka rupa. Aku terpaksa mengamatinya. Tiba-tiba aku tak dapat menahan rasa ingin tahuku dan bertanya. “Maaf Pak, sayap-sayap mereka kok berbeda-beda?”

Mendengar pertanyaanku itu, Kepala Dinas tertawa ngakak, “Nah, rupanya kau sudah mulai tertarik dengan binatang lucu ini kan? Mereka juga punya sayap-sayap yang bervariasi. Ada coro yang punya sayap lebar dan panjang, tetapi ada juga coro jenis blatta orientalis yang sayap bagian belakangnya tipis dan dapat dilipat seperti kipas. Tetapi meskipun serangga-serangga ini punya sayap, kaum coro nggak dapat terbang jauh. Sebagai gantinya, coro dapat lari kencang dan gesit karena mempunyai kaki-kaki yang panjang dan kokoh.”

“Lalu bagaimana cara mereka berkembang biak Pak?” tanyaku yang menjadi makin penasaran.

Senyum Kepala Dinas tambah lebar dan dengan lebih bersemangat ia kembali menjelaskan.

Coro berkembang biak dengan cara bertelur. Telurnya berjumlah banyak dan berentengan antara 15 sampai 60 biji diletakkan pada sebuah lapisan berbentuk kapsul yang bernama ootheca, dan rentengan itu di bawa ke mana-mana di bawah perut dan baru diletakkan kalau akan menetas. Coro-coro ini memang senang bergerombol dan bersembunyi terutama ditempat yang gelap, tumpukan-tumpukan, atau ditempat tertutup dan jarang keluar kalau siang hari. Tapi coro-coro di kantor kita ini lain dengan coro-coro di tempat lain. Di siang hari di kantor ini mereka sangat biasa menampakkan diri. Dan kamu tidak usah terlampau takut dengan mereka. Coro memang tergolong mahluk yang rakus, sisa-sisa makanan apa saja habis disantap, tapi di sini coro-coronya adalah coro priyayi yang sudah terkendali. Artinya mereka tidak lagi hidup jorok, makan sisa nasi basi, keluyuran di tempat sampah, toilet, atau lemari makan. Coro disini malah senang hidup dalam ruangan-ruangan yang bersih ber-ac,di ruang komputer, atau dalam meja-meja kantor yang terawat, sehingga baunya tidak busuk dan mengganggu.”

Aku tambah melongo mendengar kuliah percoroan dari atasanku itu. Ketika otakku masih mencoba mencerna penjelasannya itu, beliau makin bersemangat menjelaskan.

“Kamu tahu, aku sendiri malah punya hobi memelihara coro.Coro koleksiku sudah ratusan jumlahnya dalam berbagai bentuk dan jenis. Ada yang berjenis paling kecil yang panjangnya cuma 0,6 cm ada pula yang berjenis besar yang panjangnya sampai 7,6 cm. Dan ini, coba lihat, kemarin ketika aku ada urusan di Australia aku membeli coro yang berjenis ukuran luar biasa.”

Tangan Kepala Dinas mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan …astaga! Aku hampir saja berteriak ketika melihat sebuah coro yang besarnya baru kali ini aku lihat. Beliau tertawa melihat kekagetanku, binatang itu diangkat diletakkan persis di mukaku sehingga aku dapat melihat dengan jelas. Dan beliau dengan bangga kembali menjelaskan coro kesayangannya itu.

“Ini jenis kecoak Queensland Australia. Bahasa latinnya mascropanesthis Rhinoceros, panjangnya 3, 15 inci dan bobot tubuhnya 1,2 ons. Tubuhnya tidak berbau dan dapat mencapai umur tiga tahun. Warnanya bagus kan? Coba kamu pegang, ayo, nggak papa kok?”

Sambil berkata Kepala Dinas menyorongkan coro itu makin dekat ke wajahku. Pipiku dapat merasakan getaran dari sungutnya yang panjang. Aku menjadi geli sekaligus ngeri. Kepala Dinas meraih tangan kananku lalu dengan perlahan diusap-usapkan pada punggung coro besar itu. Serangga itu seakan-akan menikmati belaian tanganku. Perasaanku sendiri menjadi aneh, perlahan-lahan rasa jijikku hilang, mataku tidak lagi memancarkan kegelisahan dan permusuhan. Bahkan aku menjadi jatuh cinta dan gemas pada tubuh gemuknya.

“Nah, lucu kan? Baunya juga tidak busuk seperti yang kaubayangkan. Kalau kau mau kamu bisa mengoleksinya. Jenis itu aku masih punya satu. Siapa tahu kamu nanti jadi punya hobi pecinta dan memelihara coro. Sudah banyak rekan-rekan kerja kita yang hobi memelihara dan mengoleksi aneka coro. Nanti kita dapat berburu berbagai jenis coro termasuk yang langka dan tidak ada di tempat kita. Bahkan kita sesama pecinta coro sudah punya organisasi, namanya OPCI, Organisasi Pecinta Coro Indonesia. Kita rutin melakukan pertemuan sebulan sekali dan melakukan kegiatan penelitian, pencarian dan pelestarian coro”.

Aku mengangguk-angguk dan semakin tertarik. Kepala Dinas tersenyum makin lebar dan memberikan padaku sebuah buku berukuran tebal dengan desain sampul yang mencolok. “Ini kuberi kamu buku panduan praktis bagaimana memelihara coro yang baik dan benar “ Aku menerimanya, kubaca judulnya: Petunjuk Hidup Tentram dan Bahagia Bersama Coro.

Setelah itu Kepala Dinas mempersilahkan aku kembali ke ruanganku. Beliau menjabat tanganku erat-erat sambil berpesan agar aku memelihara dan merawat sungguh-sungguh coro pemberiannya serta sekali lagi menganjurkanku agar juga membaca habis buku yang diberikannya.

Semenjak pertemuan itu aku menjadi makin akrab dengan Kepala Dinas. Aku juga bertambah teman terutama di kalangan pecinta coro. Koleksi coroku juga makin banyak. Isteri dan anak-anakku tak pernah protes dan terganggu dengan puluhan coro yang berkeliaran bebas di rumah. Dan aku tak pernah lagi merasa tergganggu kalau saat bekerja di kantor beberap coro berkeliaran di ruanganku. Juga tak merasa risih bila saat menerima tamu ada coro yang bergelayut manja di kaki, di dasi, atau di pundakku. Kepada tamu-tamuku dengan bangga kuceritakan tentang hobiku memelihara dan mengoleksi coro, bahkan kepada tamu-tamu yang kuanggap khusus atau penting aku selalu memberi cindera mata seekor coro pilihan yang langka dan istimewa.

********

Di muat di Majalah Matra, 2004

0 komentar: