RSS

24 Februari 2008

KAYON
Oleh: Tjahjono Widijanto

Dari balik pepohonan dan hamparan belukar kijang kencana itu muncul seperti asap. Moncongnya sedikit lancip dengan dua bundaran mata bening sipit berputar-putar seperti mengajak berbicara. Tubuhnya emas dengan kaki-kaki ramping berloncatan mengitari Sinta dengan jenaka. Sang jelita tergoda. Rama bagai kilat meloncat menerkam, secepat kilat pula kijang berkelebat menghindar. Keduanya melesat tampak bagai meteor makin lama makin titik nun jauh dari pelupuk Sinta. Jerit semayup-sayup terdengar bagai salam perpisahan. Dan Laksmana terusir tersaruk sia-sia…

Ooo, angin rimba yang menggelepar

mengantarkan matahari gontai mencium mayat

rintihan tangis seribu wanita dan bocah-bocah

senja kelabu yang segera beradu

menjadi malam yang amat hitam, ooo!

***

Ruangan itu sesepi kuburan. Seperangkat gamelan pelog slendro masih saja terbujur di sebelah kanan dengan debu-debu yang tumbuh di atasnya. Juga sekotak wayang kesayangan almarhum Bapak. Sebuah kursi goyang besar (yang hampir tidak ada yang mendudukinya setelah Bapak meninggal), deretan foto keluarga, lampu gantung tua, semuanya tidak ada yang berubah.

“Jam berapa kamu dari datang Ut? Kami semua sudah menunggu. Cuci kaki atau mandilah dulu lalu tengoklah Ibu di kamar”

Sapaan halus itu cukup mengagetkan lamunanku. Pak Dhe muncul dari ruang tengah. Segera kucium tangan Pak Dhe, kakak satu-satunya dari Ibu. Lalu bergegas ke belakang.

Ketika sampai di kamar aku terkejut. Wajah Ibu demikian kurus, pucat dan sayu.. Ibu memang sudah sudah berusia 65 tahun, tapi beliau selama ini sangat pandai merawat tubuhnya sehingga selalu tampak lebih muda dan segar, tapi kini Ibu tampak jauh lebih tua dari seseorang yang berumur tujuh puluhan. Padahal baru tiga bulan lalu aku menengoknya dan waktu itu beliau tampak baik dan sehat-sehat saja.

Tangannya terasa dingin dan gemetaran ketika aku menciumnya. Beliau tak menjawab salamku. Air mata mengambang di pelupuknya dan tangannya tak henti mengelus-elus sebuah pigura kaca di pangkuannya. Sudah lima tahun pigura kaca bercat keemasan dengan sebuah dasi dengan warna dasar biru berleret-leret merah hati di dalamya itu terpampang di dinding kamar Ibu. Saban tahun setiap lebaran, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipasang di ruang tengah tepat di bawah foto keluarga yang berjejer di tembok. Di bawah dasi dan foto-foto itu kami sekeluarga berkumpul di malam-malam menjelang lebaran sampai lebaran ketupat, sepasar setelah hari raya. Di dasi itu tersimpan pusat segala kebanggan ibu terhadap anak-anaknya.

****

Putra Ibu tiga. Yang pertama Mbak Tutik,---Wulan Widiastuti—menjadi dosen di sebuah PTN di Surabaya dan suaminya seorang dokter. Yang kedua Mas Prasetya Utama, lulusan magister manajemen, tinggal di Semarang dan menjadi pengusaha sukses. Dan yang ragil, Mas Wahyu., lengkapnya Wahyu Kusuma Wibawa, jebolan Sarjana Hukum Universitas terkemuka di Indonesia dan menjadi pengacara di Jakarta. Sedangkan aku sendiri, Wiji Utami, sejak umur sembilan tahun ikut Ibu, beruntung dikuliahkan Ibu di IKIP swasta di kota kecil ini sambil menemani Ibu yang menjanda. Beruntung lagi karena setahun lalu bertemu dengan seorang laki-laki yang menjadi suamiku, seorang pegawai di kejaksaan negeri di ibu kota. Meski bukan anak kandung aku adalah kepercayan Ibu dan seluruh keluarga karena sebelum bersuami akulah yang menemani dan melayani Ibu, sementara ketiga putera Ibu sejak remaja sudah meninggalkan rumah untuk sekolah, kuliah dan kemudian bekerja.

Tiba-tiba aku dikagetkan dengan pertanyaan lirih nyaris tak terdengar, “Nduk, apakah berita-berita santer tentang kakakmu Wahyu itu benar? Benarkah Wahyu sedang dicari-cari polisi nduk?

Aku tak sanggup menjawab pertanyaan Ibu justru karena aku tahu siapa Mas di mata Ibu. Dari ketiga putera-putrinya, Mas Wahyulah yang paling disayangi dan palingmembetot perhatian ibu. Kalau dua kakaknya lancar-lancar saja hidupnya. Sekolah tertib, kuliah juga selesai tepat waktu dan lancar memperoleh pekerjaan, Mas Wahyu lain. Ia jarang pulang dan hampir tak pernah berkirim surat bahkan jarang minta jatah bulanannya. Kuliahnya delapan tahun baru selesai karena lebih banyak beraktivitas daripada menekuni diktat-diktatnya.

Tetapi Ibu tidak berkeberatan sama sekali. Juga ketika kami semua tahu Mas Wahyu merupakan salah seorang aktivis kampus yang kerap kali menggerakkan demonstrasi di kampusnya. Ibu juga tak khawatir sedikitpun ketika pada suatu saat mendapat kabar bahwa Mas Wahyu terpaksa menyembunyikan diri karena akan diculik seperti yang dialami beberapa temannya..

Suatu kali beliau berkata dengan penuh bangga, ”Nduk, Masmu Wahyu itu persis bapaknya. Tidak gampang menyerah dan keras memegang prinsip. Kamu tahu, Bapak dulu pegawai negeri, bahkan Kepala Bagian lho, tetapi Bapak memlih pensiun karena tidak mau berbuat neko-neko dan tidak tahan melihat kebobrokan atasan-atasannya. Jadinya Bapak lebih suka ndalang wayang kulit dan nunggu tanggapan”.

Ibu memang sangat bangga dengan suaminya, karena itu selalu berupaya keras mendidik putera-puteranya agar seperti bapak, Hardja Prawira. Beliau menasehati putera-puteranya termasuk aku dengan cara menceritakan lakon-lakon wayang. Ibu selalu mendongeng sebelum kami tidur. Selalu ada saja kisah yang diceritakan setiap malam, kami semua dibawanya mengembara ke alam yang indah dan menakjubkan. Gaya berceritanya begitu hidup dan mempesona bagaikan kereta kencana yang membawa kami dalam berbagai gairah petualangan. Dalam cerita Ibu kami bertemu dengan tokoh-tokoh yang begitu beragam wataknya. Ada yang jujur, pemberani, namun ada juga yang culas, serakah, dan licik. Kami tersugesti menjadi tokoh satriya perwira yang rela menderita agar orang lain bahagia.

Dari semua kisah-kisah wayang itu Ibu paling suka dan paling sering mendongeng penggalan kisah Ramayana, saat Sinta isteri Rama tergoda rayuan kijang kencana penjelmaan Kala Marica suruhan dari Rahwana. Lewat cerita itu Ibu menegaskan agar kami tidak gampang hanyut oleh godaan-godaan hidup. Ibu mewanti-wanti kami untuk selalu eling bahwa Kala Marica atau kijang kencana itu akan selalu menggoda setiap waktu.

Semenjak berita pelariannya itu Mas Wahyu tak pernah pulang. Hampir empat tahun Mas Wahyu sepert lenyap ditelan bumi. Lalu sampailah pada hari yang tidak akan mungkin dilupakan oleh kami semua keluarga besar Hardja Prawira. Waktu itu hari Minggu, matahari belum lagi terang ketika sebuah mobil warna metallic masuk begitu saja di halaman rumah. Aku yang kebetulan sedang menyapu halaman hampir berteriak saat melihat sesosok tubuh turun dari mobil. Mas Wahyu pulang. Rambutnya masih saja dibiarkan gondrong sampai bahu. Tubuhnya yang dulu kurus sekarang agak gemuk dan bersih dibalut hem biru lengan panjang dengan sepotong dasi dengan warna dasar juga biru dengan leret-leret merah hati. Di belakangnya menguntit seorang perempuan cantik menggendong bayi yang kira-kira tiga bulan umurnya. Perempuan itu dipanggilnya dengan nama Desy.

Hari itu menjadi hari yang paling membahagiakan Ibu. Mas Wahyu pulang dengan membawa anak isterinya. Ibu tak henti-hentinya mengusap air mata sambil mengelus-elus rambut cucunya. Hari itu juga Mbak Tutik dan Mas Pras dipanggil pulang, demikian juga seluruh famili. Ibu jadi seperti punya hajat. Di depan seluruh keluarga Mas Wahyu bercerita bahwa ia telah mepunyai kedudukan di sebuah departemen pemerintah di ibu kota. Aktivitasnya sebagai mahasiswa yang kritis membuat ia dikenal oleh seorang tokoh partai politik yang selepas jatuhnya rezim lama menjadi pejabat pemerintahan yang kemudian menawarinya jabatan di departemen yang dipimpinnya. Ia juga mendirikan kantor pengacara dan sebuah LSM. Jadilah Mas Wahyu seperti sekarang. Wahyu yang tak lagi kurus dan kumal, tapi Wahyu yang rapi dengan dasi warna biru leret-leret merah dan bagasi mobil penuh oleh-oleh buat keluarga dan tetangga-tetangga.

Semenjak itu dasi biru leret-leret merah hati yang dikenakan Mas Wahyu seakan-akan menjadi pusaka keramat keluarga kami. Dasi itu diminta Ibu dan dimasukkan pada pigura kaca berbingkai emas lalu diletakkan di dinding kamar Ibu. Setiap tahun menjelang lebaran tiba, dasi dalam pigura kaca itu dikeluarkan dari kamar dan dipajang di ruang tengah tempat seluruh keluarga biasa berkumpul. Saat-saat itu pula Ibu selalu mengadakan tirakatan keluarga dengan mengundang para tetangga dan pemuda-pemuda desa kami, dan dengan bangga bercerita tentang pemiulik dasi itu sambil tak lupa menasehati para pemuda agar dapat meneladani keberhasilan si empunya dasi dalam mengangkat martabat dan nama baik keluarga dan desa kami. Mas Wahyu sendiri tetap saja jarang pulang hanya bingkisan-bingkisan hadiahnya tiap tahun tak pernah absen dinikmati para tetangga juga sumbangan ini itu untuk masjid desa, aspal jalan, irigasi sawah dan sumbangan-sumbangan lainnya.

“Utami, nduk, lagi-lagi lamunanku pecah oleh pertanyaan Ibu, “ apakah benar berita-berita tentang Masmu Wahyu ? Apakah benar Wahyu telah tergoda dan lupa diri?”

Aku mematung menatap Ibu, bibirku gemetar wajahku kualihkan dari tatapan Ibu. Tiba-tiba Ibu menggigil dan menangis tersenggal-senggal dengan hebatnya.

“OAllah Gusti….kenapa ada maling di trah Hardja Prawira?! Mengapa kamu malah jadi Marica, jadi raksasa ta ngger, ngger..?!”

Kurangkul tubuh kurus yang terbaring itu dan dengan susah payah akhirnya aku berhasil meredam gejolak perasaan dan emosinya. Kubiarkan beliau menangis hebat dalam pelukanku sampai tertidur kelelahan.

*****

Kami semua, Aku, Pak Dhe, Mbak Tutik dan Mas Pras berkumpul di ruang tengah. Pak Dhe bercerita bahwa sebulan yang lalu, menjelang magrib Mas Wahyu tiba-tiba pulang sendirian. Ibu tergopoh-gopoh menyambutnya dengan rentetan pertanyaan tapi Mas Wahyu hanya menjawab pendek-pendek seperti malas bicara. Wahyu hanya berkata bahwa ia naik bus dan sangat payah serta mengantuk. Ia langsung mandi, makan, dan tanpa berkata-kata masuk ke kamar tidur. Seminggu Mas Wahyu di rumah, seminggu pula Ibu diterpa treka-teki. Mas Wahyu nyaris tak pernah ke luar kamar dan berbicara. Wajahnya terlihat muram. Usaha Ibu untuk mengajaknya berbicara gagal, ia hanya tersenyum dan berkata bahwa ia sangat lelah dan agak kurang enak badan. Tawaran Ibu untuk memanggil dokter ditolaknya.

Genap seminggu, pagi-pagi benar Mas Wahyu balik ke Jakarta. Matahari sepenggalah ketika Ibu membersihkan kamar Mas Wahyu. Tiba-tiba pembantu Ibu mendengar jeritan Ibu dan menemukan tubuh Ibu tergeletak pingsan di kamar Mas Wahyu. Pak Dhe yang segera dipanggil ke rumah menemukan sobekan koran di tangan Ibu yang rupa-rupanya milik Mas Wahyu yang ketinggalan. Terbaca berita dalam sepotong koran yang tak utuh itu: Petugas kemarin menyegel rumah seorang pejabat berinisial WKW sebagai tersangka yang menggelapkan uang negara sebesar 650 M….

Malamnya Ibu pingsan lagi ketika dalam berita di televisi melihat Mas Wahyu dalam kawalan petugas dikerumuni wartawan seusai pemeriksaan. Semenjak itu Ibu tak mampu bangkit dari tempat tidurnya dan nyaris tidak pernah berbicara, hanya menangis dan menangis.

Kami semua terdiam mendengar cerita Pak Dhe. Dalam minggu-minggu terakhir ini kami memang sering melihat Mas Wahyu muncul di banyak koran dan televisi sebelum Ibu mengetahuinya. Kami semua telah melihat dengan mata kepala sendiri di televisi bagaimana dengan wajah pucat Mas Wahyu berteriak no comment, no comment! kepada para wartawan yang mengerubutinya. Berita di televisi dan di koran-koran itu telah menjadi bambu runcing yang menusuk-nusuk jantung kami sekeluarga.

Tiba-tiba suara Mas Pras memecahkan keheningan, “Lalu bagaimana sekarang? Apakah tidak ada diantara kita yang dapat mengusahakan agar Wahyu tidak ditahan? Apakah tidak ada diantara kalian yang mempunyai koneksi yang dapat menolong mengeluarkan Wahyu minimal mencegah penahanannya? Aku sanggup menyediakan berapapun biayanya!”

Semua mata terangkat dan memandang wajahku. Leher dan wajahku terasa dingin dan basah mendadak. Kulihat mata Mbak Tutik, mata. Mas Pras dan mata Pak Dhe begitu berharap cemas padaku.

“Ut, bukankah suamimu kerja di Kejaksaan? Tentu suamimu punya kenalan atau dapat mencarikan seseorang yang dapat membantu Wahyu, kasihan Ibu, Ut?”

Pertanyaan Mbak Tutik itu bagaikan bom yang meledak ditenggorokanku. Tiba-tiba aku melihat bayangan kijang kencana berkelebat menyelinap ruangan. Kulihat pula di langit-langit rumah wajah Kala Marica meyeringai mempertontonkan taring-taringnya menertawakan kisah-kisah kepahlawanan yang dulu indah dan mendebarkan. Kulihat pula wajah Bapak yang pucat dan dengan suara pilu semayup-sayup melagukan suluk ……

Ooo, suram-suramnya cahaya matahari

mencium mayat para satriya

bersama malam yang makin menyayat

lintang hilang sinar, bulan lalai berdandan

dan bumi semakin mesra berselingkuh

dengan raksasa yang berdendang, ooo

…………

*****Ngawi, 2005

Dimuat di Kompas, 11 November 2007

0 komentar: