SASTRA
Sebagaimana halnya kesenian atau kebudayaan, sastra sebagai salah satu unsur budaya yang paling dominan tidaklah mungkin dapat diwujudkan bentuknya yang nyata tanpa kehadiran manusia. Setiap karya sastra adalah hasil pengaruh yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural.
Lucian Goldman dalam teorinya tentang strukturalisme genetik mengatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang dinamis, produk dari dari proses sejarah (kehidupan) yang terus berlangsung. Sebuah proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyarakat asal karya yang bersangkutan.[1] Berangkat dari pernyataan ini jelas bahwa antara pengarang sebagai pusat orientasi dengan karya sastra sendiri sebagai hasil daya cipta selalu dikuasai oleh sesuatu yang absolut, yakni ; rentangan waktu. Rentangan waktu inilah yang membuat karya sastra pada suatu masa berbeda dengan masa yang lain. Demikian pula landasan penciptaan, konsepsi, tendensi, dan tema suatu karya sastra pada suatu masa berbeda pada karya sastra pada masa yang lain.
Pada masa pujangga-pujangga lama, sastra diproyeksikan sebagai sesuatu yang membawa ajaran moral secara transparan. Sastra dianggap sebagai panutan hidup yang dikemas dalam estetika bahasa, bahkan seorang pujangga atau pengarang pada masa itu diyakini sebagai pembawa, pengemban, dan pengembangan kalam Tuhan. Karena itulah unsur didaktis dan paedagogik sangat kentara pada karya sastra klasik (lama).
Pada masa kepujanggaan itu, sastra secara tegas dan terang-terangan diperuntukkan untuk mendidik dan memberikan tuntunan bagi anak cucu, bagi masyarakat dalam menjalani hidup.
Dengan jelas sekali pandangan ini tercermin dalam petikan serat Wedhatama[2] di bawah ini :
akarana karenan mardi siwi
sinawung resmining kidung
sinuba sinukarta
mrih katarta pakartining
ngelmu luhung
kang tumrap ing tanah Jawa
agama agaming aji
terdorong rasa senang mendidik putera-puteri
serta untuk dapat menjauhi sifat serakah Loba dan tamak
digubahlah kidung yang indah
yang berisi ilmu luhur dan panutan hidup
bagi mereka masyarakat Jawa
dimana agama menjadi pegangan hidup.
Cuplikan bait puisi dari masa kapujanggan di atas jelas sekali menunjukkan asal muasal dan tujuan sebuah karya sastra pada masa itu diciptakan. Tradisi penulisan sastra sebagai wadah untuk menyampaikan ajaran dan panutan hidup sudah dimulai jauh-jauh hari sebelum masa Mataram Islam yang disebut-sebut sebagai era kejayaan sastra Jawa madya. Sebagai contoh adalah Serat Pepali karya Ki Ageng Selo, yang merupakan kakek buyut Panembahan Senopati pendiri dinasti Mataram Islam.[3]
Sesuai dengan namanya yang berarti petunjuk (pepali = wewarah = petunjuk), karya sastra ini secara lebih transparan berisi nasehat-nasehat bagaimana seseorarng seharusnya menjalani hidup dan menempatkan diri pada lingkungannya untuk mencapai kebahagiaan. Hal ini tergambar pada kutipan-kutipan berikut :
Nora wurung mbenjang manggih arja
Tekeng sakturun-turune
Yen sira dadi agung
Amarintah marang wong cilik
Aja sedaya-daya
Mundhak ora tulus
Nggonmu dadi pangauban
Aja nacah, marentaha kang patitis
Ngganggoa tepa-tepa
Poma-poma anak putu mami
Aja sira ngegungake akal
Wong akal ilang baguse
Dipun edep wong bagus
Bagus iku dudu mas picis
Lawan dudu sandhangan
Dudu rupa iku
Bagus iku nyatanira
Yen dinulu asih semune prakarti
Pratap soleh prasaja
Apabila diterjamahkan dalam bahasa
Tiada urung kelak menemui bahagia
Sampai kepada keturun-turunnya
Jika mau menjadi penguasa
Memerintah rakyat kecil
Jangan sewenang-wenang
Nantinya takkan langgeng
Kamu menjadi penguasa
Janganlah sembarangan, memerintahlah yang tepat
Pakailah perhitungan
Ingat-ingatlah anak cucuku
Jangan kamu menyombongkan akalmu
Orang berakal hilang tampannya
Ketahuilah, orang yang tampan
Ketampanan bukanlah harta benda
Dan bukan pakaian
Bukan pula paras wajah
Tampan itu sebenarnya
Menimbulkan rasa sayang, memikat hati
Tingkah laku yang wajar (tidak dibuat-buat)
Demikianlah, dari kutipan di atas kita bisa melihat bahwa kitab Serat Pipali Ki Ageng Selo sarat dengan nasehat hidup bermasyarakat, dalam kapasitas seseorang sebagai pemimpin, sebagai rakyat, sebagai individu, dan sebagai anggota masyarakat. Dari contoh-contoh diatas, dapat dikatakan bahwa karya sastra klasik zaman kepujanggan adalah karya sastra yang bertendensi, yang tujuan penciptaannya tidak bisa dilepaskan dari keinginan untuk mendidik masyarakatnya. Bahkan pada masa itu karya sastra benar-benar diharapkan untuk memberikan kebenaran yang profetik. Seperti misalnya karya-karya Ronggowarsito, atau karya-karya pujangga-pujangga yang lebih tua mulai dari Joyoboyo hingga era Mangkunegoro atau Yasdipura. Hal ini juga berlaku pada genre sastra kitab semacam : Bustanus Salatina, Tajus Salatina, As-rarul ‘arifin, Syaratul Asyiqin, Syair perahu, dan sebagainya.
Dalam genre sastra kitab tersebut, misalnya saja, syair Perahu dan Bustanus Salatin, di dalamnya selain terdapat ajaran kehidupan bermasyarakat juga terdapat ajaran sifistik atau tasawuf. Di dalam kitab-kitab tersebut tercermin ajaran tahapan sufistik Islam mulai dari syariat, tarekhat, hakekat dan makrifat, yang di dalam sastra klasik Jawa dikenal dengan nama : sembah raga, sembah rasa, sembah jiwa dan sembah kalbu.
Sastra zaman kapujanggan (baca : klasik) juga merupakan suatu contoh yang baik dan indah, bagaimana sebuah karya sastra bisa mewadahi semua pertanyaan abadi mengenai metafisika, epistemologi, dan etika yang selalu menjadi persoalan para ahli filsafat. Hal ini bisa terjadi karena tema yang terkandung dalam sastra zaman kapujanggan selalu meletakkan manusia dalam hubungan etika dan estetika atau dasar transedental, meletakkan logika sejajar dengan matafisika. Muatan-muatan dalam sastra kapujanggan selalu berupaya menuntun manusia pada suatu tataran keseimbangan, dimana diri pribadi seseorang dapat mengintegrasikan diri pada evolusi alam semesta dan sampai pada tingkat pemahaman, penghayatan, dan pengenalan pribadi dengan alam semesta untuk mencapai keselarasan dunia (identification of the individual with the universe).
Sastra kepujanggan meletakkan peran manusia sejajar dengan peran semesta dan suasana yang terbentuk dalam karya sastra masa itu terarah kepada suasana batin yang sakral dan profetik yang bermuara kepada pertanyaan mengenai diri pribadi serta hubungannya dengan kosmis yang berstruktur. Pada saat itu sastra masa kepujanggan sengaja atau tidak sengaja berpegang pada ajaran kaum sufi : ma arafa ‘a nafsahu faqad arafa’a rabbahu”, jika manusia mengenai dirinya, maka ia dapat mengenal Tuhannya. Dalam hal ini penggalan serat Suluk Wujil,[4] sebagai salah satu karya sastra produk kapujanggan dapat dijadikan contoh yang baik.
Ya marma lunga ngikis ing wengi
angulati sarahsaning tunggal
sampurnaning langkah kabeh
sing pandhita sunduning
angulati sarining urip
wekasing jati wenang
suruping raditya wulan
reming netra kalawan suruping pati
wekasing ona-ora”
“Sesungguhnya diam-diam hamba pergi menyusur malam
berusaha mencari rahasia tunggal
untuk mencari kesempurnaan segala tata laku
para pendeta telah hamba kunjungi
mencari hakekat hidup
akhir kuasa sejati
akhir utara selatan
akhir bilamana matahari dan bulan terbenam
akhir bilamana mata terkatup dan akhir bilamana maut menjemput
akhir ada - tiada”
Kutipan bait Suluk Wujil di atas memperlihatkan bagaimana sastra masa kapujanggan berusaha meletakkan manusia dalam bingkai religius-transedetal, meletakkan manusia sebagai mikrokosmos dan alam sebagai makrokosmos dalam hubungan yang seimbang, keduanya diumpamakan seperti dua buah kaca yang setiap permukaannya memantulkan permukaan yang lain. Pada datu pihak manusia hanya terwujud dalam hubungannya dalam makrokosmos yang menentukannya, sedangkan para pihak yang lain manusia mengetahui makrokosmos dan menguasainya. Hal ini berarti bahwa seluruh kemungkinan yang terbuka dalam diri alam semesta pada dasarnya terkandung dalam hakekat intelektual manusia, termasuk seluruh wujud dan benda. Ini berarti pula bahwa seluruh kemungkinan dunia merupakan suatu kebenaran dan pengertian dasar yang hadir dalam diri manusia. Kaum sufistik menyebutkan sebagai : “al-kaunu insanun kaburun, wal insani kaunu shoghirun, alam semesta adalah manusia besar dan manusia adalah alam semesta kecil.[5]
Dalam menginsyafi keterpaduan antara dua jagat yang merupakan satu kesatuan itu pemilihan simbol dalam sastra masa kapujanggan cenderung pada pemilihan simbol yang bersifat religius (imanen-transenden), simbol yang dipandang sebagai ungkapan indrawi atas realitas yang tanseden tidak sekedar simbol dalam sisitem logika dan ilmu pengetahuan yang membatasi simbol dalam fungsinya sebagai tanda yang abstrak. Simbol-simbol yang merujuk pada suatu yang metafisik yang bersifat ke-Illahian ini tidak saja terdapat dalam karya sastra masa lampau, tetapi bahkan hampir mewarnai seluruh pola kehidupan, baik kesenian, tata krama bahkan juga perlengkapan senjata (misalnya keris).
Dalam bidang seni pertunjukan (performance art), simbol religius ini mencapai puncaknya dalam pertunjukkan wayang purwa. Wayang pada masa kapujanggan adalah simbol pengalaman dan usaha manusia serta perjalanannya dalam upaya memperoleh kesempurnaan hidup. Ia berfungsi sebagai cerminan manusia di dunia sekaligus menggambarkan proses hidup manusia dalam kurun waktu tertentu. Karena itu hampir semua perlengkapan wayang, seperti : kelir, gedebok, blencong, cempala, serta kotak mengandung simbol-simbol tertentu. Secara gamblang Serat Centini,[6] jilid IX pupuh 598, tembang megatruh bait tiga dan empat :
sasmitaning Hyang Sejati dalang lan wayang
dinunung, pamanggone mawarni, kartya upameng pandulon.
Kelir jagad gumelar wayang pinanggung,
asnapun mahluking widhi, gedebog bantala wegung
blencong padhanging urip, gamelan gendhinging lelakon.
Manusia utama membuat pandangan samar-samar
sebagai pertanda Hyang Sejati, dalang dan wayang
mempunyai tugas menempatkan kehendak Tuhan yang beraneka
macam dengan cermin yang terlihat.
Kelir adalah jagad diatas panggung dimana terdpaat beraneka ragam makhluk Tuhan, gedebog (batang pisang) adalah bumi seisinya, blencong merupakan penerang hidup, gamelan adalah irama lakon kehidupan manusia.
Dari kutipan diatas, terlihat bahwa kelir atau pentas merupakan simbol dunia, tempat manusia menunaikan tugasnya masing-masing. Blencong adalah simbol dari sinar Illahi yang menghidupi wayang-wayang yang merupakan simbol dari makhluk hidup. Gedebog atau batang pisang adalah tanah atau bumi tempat semua makhluk berpijak. Di atasanya sebelah kanan dan kiri dijajarkan wayang-wayang yang melambangkan berbagai manusia dengan wataknya, dan dalang sebagai penutur cerita melambangkan kekuasaan Tuhan, serta gemelan yang merupakan simbol simponi alam semesta, keharmonisan, keterpaduan, keserasian dan kebersamaan antara manusia, Tuhan dan semesta.
Dalam tradisi sastra klasik ini untuk menciptakan sebuah karya yang mampu memberikan tuntunan lahir batin dibutuhkan seorang kreator, pencipta yang ‘utuh’ mampu manunggal dan membuka diri dengan alam semesta. Karena itu para pujangga pada masa klasik secara sosiologis menempati kedudukan khusus di masyarakat dan dianggap penerus dan “penafsir” sabda Tuhan yang memiliki keyakinan dan kesungguhan spiritual. Di dalam keyakinan dan kesungguhan spiritual inilah para pujangga dalam proses kreatifnya sangat dekat dengan prosesi ritual yang merupakan bagian dari proses kreatif itu sendiri. Di dalam keyakinan dan kesungguhann inilah seorang pujangga masa Kediri atau Majapahit saat kali pertama menggoreskan tintanya menyempatkan diri merenung dan berucap Awighan astu nawa sidham, dan seorang pujangga Islam Jawa memerlukan waktu untuk mengheningkan diri, mahas ingasepi serta mengucapkan Bismillahirrahmannirahim dengan segenap kesungguhan hati dan batin memohon restu dan tuntunan Tuhan penguasa semesta.
***
Lalu bagaimana dengan sastra di masa ini ? Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan begitu dahsyat talah mengubah bahkan mengoyak dunia. Komunikasi muncul sebagai raja dan telah menggeser bahkan menghilangkan batas-batas budaya masing-masing bangsa. Kebudayaan yang semula dibatasi dengan ketat oleh dimensi ruang dan waktu beralih kepada kehidupan global yang membuat orang dipaksa saling terlibat dan saling berkepentingan.
Dunia telah sampai pada kondosi evolusioner yang panjang yang mengajak manusia pada masa pasca industrial yang melahirkan semangat pembangunanisme yang membawa perubahan ekonomi dan sosial yang sangat rentan oleh persaingan yang keras dan kejam. Dikatakan oleh Robert Heilbroner bahwa banyak bermunculan “lembaga-lembaga” tempat pembentukan pola-pola tipikal kekuasaan, kepatuhan dan keyakinan-keyakinan yang dibentuk oleh suatu dinamikan yang berbentuk kelas melawan kelas, suku melawan suku, bahkan peradaban melawan peradaban, serta banyaknya skenario-skenario dari masyarakat yang digerakkan oleh “keharusan-keharusan” dari kekayaan. Inilah dia : Kapitalisme !
Lebih lanjut mengenai zaman kapitalisme ini, Adam Smith (dalam Heilbroner, 1991) mengatakan : “Bilamana terdapat harta dalam jumlah besar, terdapat pula sejumlah besar ketimpangan dan ketidak merataan. Untuk seorang yang sangat kaya paling tidak ada
Timbulnya kapitalisme membuat bergesernya citra manusia sebagai pelaku sosial dan budaya yang pada gilirannya akan dapat mengubah orientasi budaya sebuah bangsa. Pada zaman sebelum kapitalisme citra manusia lebih ditonjolkan sebagai sosoknya sebagai makhluk Tuhan dengan nilai-nilai ideal, menjadi berubah sebagai sosok yang lekat pada unsur material dan fisikal. Ini dapat terjadi karena bangunan citra manusia itu ditegakkan berdasarkan unsur-unsur yang selalu dipandang penting sebagai penopang keberadaan manusia. Dan bangunan citra ini akan dianggap sebagai penopang keberadaan manusia yang dapat difungsikan untuk pemandu, rujukan, tolak ukur perilaku manusia (Saryono, 1997). Citra manusia ini dibangun atau dibentuk dalam seluruh sub sistem budaya. Atau dengan kata lain, pencitraan manusia dilakukan melalui subsistem budaya. Bukan hanya subsistem sosial dan dan material saja yang dipakai untuk membangun dan membentuk citra manusia, melainkan juga subsistem mental-kognitif atau lambang yang terlekati makna dan nilai (Kuntowijoyo, 1987; Kleden, 1987; Saryono, 1997).
Berhadapan dengan zaman semacam ini, sastra jelas tidak bisa menolaknya. Dalam hubungan ini sastra mencoba menghadirkan kisah dan berita tentang realitas secara dialogis, transformatif, dan orisinal melalui imajinasi dan kongkretisasi. Kisah dan berita tentang realitas ini berwujud representasi realitas yang dikerangkai dan didasari oleh episteme tertentu (simak Said, 1994; Sugihartono, 1996). Representasi sosial karena merupakan hasil kegiatan mental dari sastrawan yang hidup dan menjalani mengembangkan kehidupan ditengah masyarakat (Saryono, 1989).
Berkaitan dengan perubahan sosial-budaya yang terjadi di masyarakat, sastra dapat dimengerti sebagai sebuah wacana yang menjadi sejarah mentalitas dalam kerangka episteme tertentu. Sebagai sejarah mentalitas, ia memancarkan dan menampilkan hayatan, renungan, gagasan, pandangan, bahkan mencetuskan sebuah perlawanan. Dalam kaitan inilah realitas budaya dalam karya sastra bukan merupakan replika dan kopi dari realitas, melainkan realitas yang dikisahkan, atau meminjam istilah Teeuw (1995), realitas dalam karya sastra merupakan realitas hilir, bukan realitas hulu.
Berhadapan dengan perubahan yang terjadi pada zaman ini, sastra kita lebih cenderung berbicara tentang krisis identitas dan kemelut hidup dimana nilai-nilai berubah pada goyahnya kepercayaan kepada takdir. Terjadilah pergeseran warna tematis antara karya sastra masa kapujanggan dengan sastra kita lebih condong meletakkan persoalan manusia tidak lagi dalam perspektif metafisis-spiritual, tetapi lebih meletakkan diri pada perspektif sosial-huimanistik disebabkan karena terlalu kerasnya himpitan material dan tuntutan untuk berfikir serta bertindak secara rasional. Hal ini tentu saja bukan berarti sastra kita saat ini tidak mempunyai muatan spiritual-transedental.
Gejala diatas terjadi karena tata nilai sosial budaya telah mengalami pergeseran-pergeseran yang membawa kita kepada dua sisi yang bertolak belakang. Ibaratnya kaki kita berada pada dunia yang berbeda. Kaki yang satu masih berada dan dicekam pada kondisi tata nilai sosial budaya dan politik yang agraris tradisional (baik dalam suasana psikologis dan empiris), lalu kaki kita yang lain telah dipijakkan dan belum tegak benar pada dunia industri kapitalistik yang serba cepat yang membuat kita justru terjebak pada posisi yang nanggung.
Keadaan yang nanggung ini telah membawa sastrawan-sastrawan
Karena proses yang terjadi adalah proses dialektika maka citra-citra “baru” yang ditawarkan para sastrawan itu masih mengandung atau paling tidak dinafasi unsur tradisi dan corak pemikiran lama. Sebagai contoh kasus yang terdapat pada novel
Sastra Indonesia mutahir sebagai produk zaman kapitalis adalah karya sastra yang banyak bercerita mengenai usaha pencarian nilai-nilai humanistik yang otentik dalam sebuah dunia yang tergradasi, dimana terdapat perjuangan untuk membangun kembali suatu totalitas atas dunia yang sudah menjadi fragmentaris --- meminjam istilah Faruk HT, pergumulan antara totalisasi dan detotalisasi --- , pada saat inilah sastra masa kapitalis telah menempatkan manusia lepas dari semesta. Tergambarlah sosok manusia yang terlempar dan teralienasi hubungannya dengan alam semesta dan hakekatnya.
Salah satu tema setral sastra produk kapitalis ini antara lain adalah pergulatan manusia tentang identitas dirinya sebagai makhluk sosial semata-mata dan ketegangan-ketegangan antara hal-hal yang bersifat irasional dan rasional. Hampir semua karya masa kapitalis berbicara tentang kesadaran manusia sebagai sosok oriented yang subyektif dalam hubungannya dengan manusia-manusia lainnya. Akibatnya terjadi loncatan pemikiran yang ekstrim yang juga menafsirkan batas lingkup geografis tertentu dengan laihirnya sosok-sosok atau tokoh-tokoh pengembara dalam karya sastra yang boleh jadi merupakan pengejawantahan dari pencitraan sosok pengarang sendiri hasil reaksinya dari kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Tokoh-tokoh ini tidak lagi membatasi diri dalam suatu lingkungan tertentu seperti misalnya ditampilkan J.B Mangunwijaya dalam novelnya Burung-burung Rantau.
Manusia atau tokoh yang digambarkan dalam Burung-burung Rantau ini adalah citra serupa manusia
Kalau diperhatikan terlihat betapa novel ini, juga novel-novel seangkatannya yang lain misalnya : Burung-burung Manyar, Para Priyayi, Pasar, Tirai Menurun, Durga Umayi, dan sebagainya lebih cenderung berbicara masalah sosial budaya yang langsung berkaitan dengan masalah yang timbul akibat lahirnya pembangunanisme yang lahir dari kapitalisme yang sekaligus memberikan upaya pencitraan sosok manusia Indonesia yang lahir karena orientasi pembangunan yang lebih mengacu pada hal-hal yang fisik (materialisme) dan perekonomian.
Di tengah derasnya arus zaman ‘kecerdasan’ dan kekuatan berfikir secara rasional bahkan licik dan munafik ini, sastra masa kini sesuai dnegan kodrat antropologisnya atau humanitis kulturalnya lebih memproyeksikan dirinya sebagai sistem lambang budaya yang intersubyektif dari suatu masyarakat. Sebagai sistem lambang budaya, ia bukanlah artefak, melainkan wacana yang menjadi fakta mentalitas, fakta kesadaran personal ditengah kesadaran kolektif budaya, dan fakta sosial dari masyarakat yang menghasilkannya. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya sastra
Akhirnya yang bisa dicatat di akhir tulisan ini adalah sastra hari ini memang berbeda dengan sastra masa lampau, sastra zaman ini berbeda dengan zaman yang akan datang, hari ini berbeda dengan esok pagi. Tetapi sastra yang serius akan tetap mengahadirkan manusia dengan segala problematika kemanusiaannya secara jujur, serta telanjang sesuai dengan zamannya.
Tjahjono Widijanto : Jurnal Ulumul Qur’an, no 1/VIII, 1998.
[1]). Dalam teorinya tentang “Strukturalisme genetik”, Goldman membangun perangkat kategori yang saling berhubungan satu sama lain. Yakni : Fakta kemanusiaan, subyek kolektif, strukturasi, pandangan hdup, serta pemahaman dan penjelasan. Lebih lanjut Goldman menjelaskan adanya gagasan-gagasan, aspirasi dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu.
[2]). Wedatama karya sastra Jawa klasik karya K.G.P.A.A . Mangkoenegoro IV (1809-1881). Terdiri dari lima bentuk tembang : Pangkur terdiri dari 18 bait, Sinom terdiri dari 18 bait. Wedatama secara umum berisi tuntunan hidup bermasyarakat, pelajaran terhadap pemimpin, pelajaran terhadap anak/siswa, pelajaran untuk kawula (rakyat) dan pendidikan religius serta pandangan ketuhanan.
[3]). Ki Ageng Selo merupakan moyang dari raja-raja Mataram Islam. Menurut cerita, ia adalah bekas perwira Demak yang menyingkir ke Solo dan menyebarkan ajaran Islam di Solo. Serat Pepali ditulis dlam bahasa Jawa kuno kurang lebih pada abad XVI. Ki ageng Selo adlaah cucu Raden Lembu Peteng atau Raden Bondar Kejawan putra Prabu Brawijaya raja Majapahit terakhir dari isterinya yang termuda yang berasal dari Wandan (Bandaneira). Serat Pepali mencerminkan perlihan zaman dari Zaman Hindu-budha masa Majapahit ke zman Islam Demak sampai masa Mataram Islam. Isinya merupakan sari filsafat hidup dari para Wali Songo guru-guru dari Ki Ageng Selo yang merupakan suatu sintesa dari unsur-unsur keagamaan yang bernafaskan Islam dan peleburan unsur-unsur Hindu.
[4]). Serat Suluk Wujil menggambarkan masa peralihan dari zaman Jawa-Hindu ke masa Jawa-Islam (pemerintahan Demak). Tokoh Wujil dalam Suluk Wujildisebut-sebut sebagai bekas abdi Majapahit yang bijaksana, mumpuni segala ilmu pengetahuan (Bhs. Jawa : telas sandining aksara), yang berguru kepada Sunan Bonang. Suluk Wujil ini telah ditelaah oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka dengan judul : “De Geheine Leer Van Sunan Bonang” (Ajaran Rahasia Sunan Bonang), tahun 1938.
[5]). Dalam ajaran sufistik Jawa dikenal adanya dua jagat : Jagat gedhe, jagat yang berada di luar diri manusia (semesta), dan jagad cilik, dunia yang berada dalam diri manusia. Konsepsi filsafat Jawa menekankan perlunya keharmonisan antara dua jagat yang saling mempengaruhi. Kedua jagat ini merupakan suatu kesatuan yang bersenyawa, hal ini dibuktikan dengan anasir-anasir alam yang terdapat dalam diri manusia yaitu : ait, tanah, udara, apai dan eter. Selanjutnya anasir-anasir alam ini dalam diri manusia berwujud atau bersenyawa dalam empat nafsu : amarah, aluamah. Sufiah, dan mutmainah. AMarah, aluamah, dan mutmainah diambil dari konsep Islam, sedangkan sufiah adalah pengembangan dari tasawuf jawa.
[6]). Serat Centini terdiri dari 12 jilid dengan tebal lebih dari 3500 halaman. Penyusunan kitab ini atas perintah kaneng Gusti Pengeran Adipati Anom Amengkunegara II (Pakubuwana V), putra dari Pakubuwana IV. Kitab ini disusun oleh Ki Ngabei ROnggosutrasna, R. Ng. Yasadipura II, dan R. Ng. Sastradipura, dengan melibatkan berbagai ahli dari segala bidang kehidupan. Serat Centini memuat berbagai ajaran dalam bingkai konsepsi jawa, mulai dari bidang agama, kebatinan, ngelmu kesunyatan (ilmu kesempurnaan hidup), ilmu kesaktian, ilmu kanuragan, pengetahuan seks, ilmu perbintangan, watak-watak musim, upacara adat, tempat-tempat kuno, kesusaatraan, ilmu pertanian, ilmu peternakan, obat-obatan, seluk beluk senjata, ilmu perumahan, pengetahuan tentang kuda, binatang piaraan, kerawitan (musik), tari-tarian, sejarah (babad), keadaan di goa-goa, pesisir, gunung-gunung, berikut dengan aneka sosial kehidupan
0 komentar:
Posting Komentar